Sabtu, 27 Maret 2010

Kolom (Sjahrir)

Sjahrir di Pantai
GOENAWAN MOHAMAD

SAYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Beberapa jam sesudah itu bom meledak.

Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLD-Catalina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot pesawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar waktu satu jam untuk bersiap.

Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun.

Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam belas kotak buku itu tak jadi dibawa—untuk selama-lamanya—kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.

Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di dalam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar jendela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru bangun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil.

Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjahrir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada peperangan di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah menduga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali.

l l l

Saya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari 1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda Neira. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang, ia menemui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, bermain, bergurau.

Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan ruang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh Hatta di atas meja. Hatta—selalu sangat sayang kepada buku-bukunya, selalu rapi dengan benda-benda itu—marah.

Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cucu-cucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perempuan, Lily dan Mimi.

Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. ”Mereka… adalah teman terbaik yang saya miliki,” katanya tentang anak-anak Banda itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri....

Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matematika, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menyewa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka.

Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar, atau mendaki gunung di sebelah sana.

l l l

Anak-anak, permainan, pantai—mungkin itulah kiasan terbaik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan kebetulan-kebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan, proses yang tak berangkat dari satu asal. Saya teringat sebuah sajak Tagore:

”Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan daun kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut dalam…

”Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali…”

Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh ”manfaat” di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikumpulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa.

Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang buangan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu berubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pantai itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tempat asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesadaran. Juga tak diakhiri akalbudi.

Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: ”Sesungguhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya yakini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bahkan sebaliknyalah yang benar—akalbudi bertakhta hanya sepanjang impuls, dorongan, gairah membiarkannya...”

Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa emosi jadi ”terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah ”penalaran abstrak” tanpa ”pengalaman” (”ervaring”).

Sjahrir memang menyukai Nietzsche. ”Nietzsche itu kebudayaan, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu genius,” tulisnya kepada adiknya dalam sepucuk surat bertanggal 7 November 1941. Nietzsche menyebut, mengikuti Schiller, adanya ”dorongan bermain”, Spieltrieb, dan agaknya dalam hubungan itu ia melukiskan ”api hidup abadi” yang ”bermain, seperti si anak dan sang seniman”, dalam arti ”membangun dan menghancurkan, tanpa dosa...”.

Tujuan, juga hasil, tak relevan. Tapi bagaimana dengan niat dan rancangan mengubah dunia, tak sekadar menafsirkannya?

l l l

Saya bayangkan Sjahrir: seorang tahanan yang betah. ”Di sini benar-benar sebuah firdaus,” tulisnya tentang Banda Neira pada awal Juni 1936.

Sebuah kenang-kenangan yang ditulis Sal Tas, sahabatnya sejak muda di Belanda, menyebutkan kenapa demikian: di pulau itu, Sjahrir bisa melampiaskan gairahnya dalam dua hal—bermain dengan anak-anak dan mengajar. ”Seakan-akan ia, dalam bermain dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang tanpa ketegangan, pertikaian, dan problem”.

Sebab, menurut Sal Tas, di lubuk hatinya, Sjahrir tak menyukai politik. ”Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bukan karena terpikat. Ia tak terpesona oleh fenomena yang dahsyat, menarik, bergairah—terkadang luhur, sering kotor, namun sepenuhnya manusiawi—yang kita sebut politik. Ia tak merasakan ada panggilan….”

Politik tak mengerumuninya di Banda Neira. Tapi bisakah ia mengelakkannya?

Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada dilema dan ambivalensi. Pada pagi 1 Februari 1936 itu, Sjahrir pergi bersama tiga anak pungutnya, meninggalkan Banda Neira, di pesawat yang mungkin tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah pilihannya: anak-anak, bukan buku; pergi, bukan berlindung di rumah asal; berangkat ke tempat yang tak terikat, bukan ke alamat yang terjamin.

Tapi tak semua dilema menghilang. Dalam tubuh MLD-Catalina yang melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak terhindarkan. Terbang, penjelajahan, avontur, pembuangan, anak-anak, rantau antah berantah—mungkin dalam hal-hal ini Sjahrir mendapatkan, secara intens, apa yang oleh Nietzsche disebut sebagai ”kelupaan yang aktif”.

Namun di dalam kabin itu ”kelupaan” (Vergeszlichkeit) tak mungkin jadi dasar segalanya. Ada Hatta dan buku atlasnya, pilot yang mengikuti angka beban dan bahan bakar, peta yang pasti, tubuh dan mesin pesawat yang bergerak dengan perhitungan aerodinamik, dan keinginan untuk selamat dari ketakpastian cuaca dan situasi perang.

Pesawat Catalina itu bukan ”the only possible non-stop flight”, untuk ”terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat”, seperti dihasratkan dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Pada akhirnya Sjahrir tetap harus ketemu dan mendarat, dengan rencana, sebagaimana Catalina itu akan mendarat dengan kalkulasi. Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan, gairah.

Sjahrir sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti para penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bukan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana, dan ”Surat Kepercayaan Gelanggang”, Sjahrir percaya, kebudayaan Indonesia harus masuk ke zaman baru. Bukan lagi dengan mistik dan adat yang ”semi-feodal”, bukan dengan mengelap-elap candi tua.

Di Banda Neira itu juga Sjahrir, seperti umumnya mereka yang terbentuk oleh pendidikan pemerintah kolonial, percaya hanya rasionalitas-lah yang cukup kuat untuk menguasai dunia. Ia menulis tentang perlunya ”nuchterheid” dan ”zakelijkheid”, sikap berpertimbangan dan lugas—pada saat ketika ia juga menyambut Nietzsche yang merayakan vitalitas yang berani untuk liar bagaikan Dionysius.

Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang diunggulkan tata sosial burjuis—tata yang mengandung kontradiksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani menjelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandung sifat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, kelugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, industri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur kehidupan politik.

Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam sikapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa ”anti-politik” ketika ia harus menempuh sebuah proyek bersama yang tertinggal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang menyebabkannya dibuang ke Banda Neira.

l l l

Saya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiapkan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena di mana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan konflik kekuasaan.

Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tanpa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang digambarkan tak terpesona oleh politik?

Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Soekarno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira.

April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam setelah Sjahrir wafat: ”Dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia...”. n

Ditulis kembali dari ’Setelah Revolusi Tak Ada lagi’ (Jakarta, Alvabet: 2001). Diolah dari ’Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia’ (Studies on Southeast Asia, No. 14) oleh Rudolf Mrazek.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/CTP/mbm.20090309.CTP129725.id.html

Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir
HARRY POEZE
Penulis biografi yang ekstensif tentang Tan Malaka. Jilid pertama dari enam jilid diterbitkan di Indonesia dengan judul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi, jilid I Agustus 1945-Maret 1946, tahun 2008. Tahun ini dua jilid lagi akan diterbitkan.

SJAHRIR adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh orang ini—Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution—dalam kadar berbeda menentukan arah dan produk revolusi. Republik Indonesia pada zaman revolusi, dengan demikian, bukan merupakan akibat dari proses sosial yang impersonal dan tak terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan organisasi, kelompok angkatan bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal, idealisme dan oportunisme, patriotisme dan banditisme, pahlawan dan pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir dengan ajaib: pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.

Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi. Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan berbeda.

Sjahrir dan Amir, yang tak tergoda bekerja sama dengan Jepang, pada 1945 segera mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dan Hatta. Mereka menghadirkan Republik Indonesia yang siap bernegosiasi dengan Sekutu dan Belanda. Di latar belakang, Soekarno dan Hatta menunggu saat yang tepat untuk comeback. Kesempatan itu datang tatkala Sjahrir berada di bawah tekanan melakukan terlalu banyak konsesi dalam pembicaraannya—yang dalam diskursus politik sering disederhanakan sebagai diplomasi.

Tan Malaka, politikus sorangan, yang setelah 20 tahun di pembuangan, secara diam-diam kembali ke Jawa pada 1942. Ia mengepalai sebuah koalisi berwajah angker antara organisasi politik dan organisasi militer, Persatuan Perjuangan. Koalisi yang membawa panji-panji perjuangan ini melancarkan oposisi blak-blakan terhadap konsesi apa pun dengan Belanda, bila konsesi itu menyimpang dari semangat Proklamasi. Tujuan mereka adalah merdeka 100 persen.

Namun Tan Malaka dan koalisinya ternyata hanya raksasa dengan kaki dari tanah liat. Setelah melakukan perlawanan sengit terhadap Sjahrir, Amir, Soekarno, dan Hatta—keempatnya hanya memberikan tanggapan moderat— dalam sidang parlemen sementara, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada Februari 1946, Persatuan Perjuangan lenyap tak berbekas. Tan Malaka pun hilang dalam gerhana.

Kendati demikian, Tan masih dianggap ancaman bagi kehormatan Republik. Entah Amir atau Sjahrir, atau mungkin keduanya, dengan persetujuan Soekarno, secara tak resmi mendukung penculikan Tan Malaka dan beberapa pengikut setianya oleh dua orang pemuda Pesindo, organisasi pemuda sosialis, dari sayap yang dipersenjatai. Penculikan pada Maret 1946 itu berhasil, tak mendapat kecaman publik, dan Tan Malaka ditahan tanpa proses persidangan sampai September 1948. Ketika dibebaskan, Tan tentu saja sakit hati terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penahanannya: Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta.

Selama delapan bulan—dari Proklamasi sampai penculikan Tan Malaka—Tan berubah dari negarawan senior terhormat, disegani karena pengalamannya dan perjuangan antikolonialnya, dan seorang teoretikus revolusi, menjadi orang buangan, dihujat dan dilupakan. Sjahrir adalah salah satu pengagumnya. Mereka bertemu pertama kali pada September, di rumah Soebardjo, tempat Tan Malaka tinggal sementara. Mereka bertemu lagi ketika Tan Malaka pindah ke Bogor. Sjahrir dan para pemuda terkemuka mendiskusikan cara menggantikan kekuasaan presiden Soekarno dan Hatta dengan pemerintahan parlementer yang dikepalai Sjahrir.

Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris: ”We must follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism” (Kita harus menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh sosialisme). Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka merencanakan langkah-langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dan Hatta.

Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan segenting itu perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara. Sjahrir juga menaruh rasa hormat pada Tan Malaka yang ia sapa dengan sapaan kehormatan Minangkabau, Engku.

Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17 Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu berada di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka mengemukakan pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda merupakan kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tak memiliki persenjataan, tapi ia memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur.

Ancaman bumi hangus akan mencegah Belanda untuk kembali. Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan Malaka dan Sjahrir. Tapi, di Serang, Sjahrir masih meminta Tan Malaka menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi Sjahrir.

Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: ”Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tiada ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu.” Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan lebih terus terang, ”Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis.”

Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini—Sjahrir memilih garis lebih moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya tak pernah bertemu lagi.

Dari ketujuh tokoh utama revolusi, hanya Sjahrir dan Tan Malaka yang menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sjahrir menerbitkan Perjuangan Kita, yang beredar luas dan dipuji. Khususnya, oleh para pendukung di luar negeri—dari kelompok sosial demokrat yang moderat—yang setuju dengan lahirnya bangsa Indonesia yang baru. Namun prinsip-prinsip dan visi yang dikemukakan Sjahrir tentang persoalan-persoalan aktual kenegaraan terlalu singkat. Visi Sjahrir juga bercampur-aduk antara analisis politik, pertimbangan-pertimbangan taktis, rencana jangka pendek dan jangka panjang, pilihan praktis, ortodoksi Marxis, serta hasil pengamatan yang ditujukan kepada audiens dalam negeri dan luar negeri, yang disajikan kadang-kadang secara agresif, kadang-kadang tersembunyi.

Dibandingkan trilogi Tan Malaka yang disajikan dalam format dialog— Politik, Muslihat, Rencana Ekonomi—buklet Sjahrir tak dapat bersaing dengan tulisan Tan Malaka yang koheren dan mendalam tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Tapi Tan Malaka tak punya sarana untuk menerbitkan dan mengedarkan buklet-bukletnya. Ia juga tak mempunyai hubungan baik, serta kontak dan simpati dengan luar negeri.

Di dalam penjara Tan Malaka menulis Dari Penjara ke Penjara, yang juga berisi komentar-komentarnya tentang revolusi Indonesia yang diwarnai pengalaman-pengalaman getir bersama kuartet Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir. Dalam jilid tiga Dari Penjara ke Penjara yang beredar dalam bentuk stensilan ia tetap mengemukakan pandangan-pandangannya. Pada waktu itu Sjahrir telah turun dari jabatan perdana menteri, telah pula kehilangan goodwill, dan dituduh terlalu banyak melakukan konsesi dengan Belanda. Amir mengalami nasib yang sama menyusul keterlibatannya dalam Pemberontakan Komunis di Madiun, yang dibayar dengan eksekusi mati.

Analisis Tan Malaka atas keempat pemimpin dilakukan dalam bentuk sketsa: ”Satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petite bourgeoisie, borjuis kecil Indonesia, sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda tertinggi. Dan sama-sama bercita-cita ‘kerja-sama’ dengan imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbeda dalam kualitas, sifat, sebagai orang saja.”

Tentang Sjahrir, Tan menulis: ‘Sampai pada waktu Jepang menyerah, maka Sutan Sjahrir paling dekat dengan para pemuda […]. Tetapi dalam sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara Sjahrir cs. dengan para pemuda. […] Sebenarnya Sjahrir sudah bertindak dengan Soekarno-Hatta. Dia dengan golongan pemudanya sudah melayang-layang di antara Massa Aksi dengan Diplomasi. Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih salah satunya—pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil.” Tan terus mencadangkan kritik terhadap perilaku Sjahrir pada rapat KNIP di Solo, ketika keempatnya—Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta—menyingkirkan Persatuan Perjuangan lewat gerakan-gerakan rahasia dan manuver-manuver cerdik.

Atas cara ini, dalam beberapa bulan, kerja sama yang menjanjikan telah berbelok menjadi perseberangan yang pahit, dengan Tan Malaka dalam peran abadinya sebagai pecundang sepi. Tapi hari-hari kejayaan Sjahrir juga pendek. Sejak Juli 1947, ia dihukum untuk berdiri di pinggir, sebagai pemimpin partai sosial demokratik yang kecil.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.20090309.KL129742.id.html


Sjahrir dalam Renungan Dua Jilid
DANIEL DHAKIDAE
Peneliti senior pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta

MENGENANG Sutan Sjahrir menempatkan siapa pun jauh-jauh dari suasana selebrasi bagi salah seorang tokoh utama revolusi Indonesia. Mengenang Hatta adalah perayaan, untuk tidak mengulang super-selebrasi dalam hal Soekarno. Mengenang Sjahrir adalah merenungi keterasingan dan pengasingan sebegitu rupa sehingga terpaksa dilakukan sesuatu yang, pada dasarnya, memalukan untuk ”memperkenalkan kembali” siapa Sutan Sjahrir.

Sjahrir, Ilmu, dan Pembudakan Ilmuwan
Sjahrir adalah a man of paradox dalam berbagai arti. Tubuhnya kecil dengan tinggi tidak mencapai satu setengah meter, 145 sentimeter, dan berat badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan energi dahsyat. Inteligensinya mengagumkan.

Namun—atau sebenarnya justru karena—inteligensinya yang besar itu dia meninggalkan studinya di Leiden, Belanda, tanpa berminat sedikit pun untuk menyelesaikannya, sebagaimana Hatta dan kawan-kawannya yang lain. Tentang ini, dengan enteng dia hanya berkata bahwa seorang pemegang titel itu hanya ”pemegang titel sahadja”, tidak lebih dari itu.

Namun pandangan Sjahrir jauh melampaui masalah sepele ijazah. Sjahrir menukik tajam ke dalam soal ilmu dan keilmuan ketika dia memberikan jawaban yang paling serius dalam Indonesische Overpeinzingen (IO): ”Lama-kelamaan saya tahu bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu resmi (de slavernij van de officiële wetenschap). Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin. Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tidak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku…. Yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya” (IO, 29 Desember 1936). Secara utiliter seolah-olah dia katakan: pengetahuan tidak berguna kalau tidak menjadi kebenaran yang bisa diserap dan diolah masing-masing orang. Di luar itu, ilmu hanya sekadar kumpulan kaidah dan abstraksi yang tak bermanfaat.

Renungan Jilid Satu: Sjahrir dan Dirinya
Sutan Sjahrir mewariskan kepada bangsa ini dua karya monumental. Pertama, yang sudah dikutip di atas, Indonesische Overpeinzingen, 1945, yang ditulis seluruhnya dalam bahasa Belanda. Dalam kata pengantar cetakan ketiga, dikatakan penerbit Belanda, ”Sjahrir mengejutkan dunia dengan kedalaman, dinginnya berpikir, dan kebijakan seorang negarawan.”

Kenyataan bahwa buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda, di Belanda pula, semakin mengasingkan penulisnya dari massa rakyat. Meski sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1947 oleh penerjemah tangguh, H.B. Jassin, buku ini tetap asing bagi sebagian besar warga bangsa ini, dulu, apalagi sekarang, untuk kalangan tua, apalagi untuk kalangan muda.

Melalui terjemahan Inggris, renungannya memukau dunia. Dalam hubungan itu, sama sekali bukan kebetulan kalau semua rentetan renungan selama kurang-lebih empat tahun, 1934-1938, dibuka Sjahrir dengan renungan utama tentang individu dan masyarakat. Persoalan ini jelas bukan masalah Indonesia, meski Indonesia mulai menapak ke dalamnya.

Namun pikiran Sjahrir hanya mungkin dipahami bila ditempatkan dalam arus utama Eropa, kalau diperhatikan bagaimana kekuatan baru seperti Uni Soviet, yang tengah mempropagandakan homo sovieticus, manusia baru Soviet, yang bebas dari nafsu kapital demi pengabdian kepada masyarakat komunis. Gerakan fasisme di daratan Eropa sendiri menempatkan nasion menjadi lebih penting daripada pribadi—baik di Jerman, Italia, maupun Spanyol. Ini bukan semata-mata karena Hitler, Mussolini, dan Franco, melainkan karena kaum filosof sekaliber Martin Heidegger pun menjadi sumber inspirasinya.

”The Kyoto School of Philosophy”, Kyoto tetsugaku-ha, mengembangkan hal serupa dengan menganut paham bahwa nilai etika baru mencapai kesempurnaan ketika semuanya diambil alih negara. Hanya negara yang menjamin kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis akan mendapatkan terjemahan material dalam ekonomi persemakmuran dalam naungan bangsa dan negara Jepang bagi Asia.

Dalam paham dan pengalaman Sjahrir, bahkan Belanda pun, sarang dari individualisme itu, mengalami perubahan dan semakin mempopulerkan pembicaraan tentang apa yang oleh Sjahrir disebut sebagai pandangan hidup organik. Kalau ini yang terjadi, individualisme itu sudah jelas mengalami perubahan besar dan berarti dan berada dalam ancaman.

Bagi Sjahrir, semuanya mengarah ke suatu perkembangan yang mengkhawatirkan menuju sejenis staatsabsolutisme, absolutisme negara, di mana negara secara organik-biologik menjadi ”bentuk lebih tinggi dari masyarakat manusia”, dan dengan begitu tentu saja menjadi bentuk idaman. Sjahrir sangat khawatir terhadap perkembangan ini.

Sjahrir dan Nasionalisme
Kontroversi Sjahrir tertuang dalam pandangannya tentang nasionalisme yang melawan arus utama yang berlaku di Indonesia pada masa-masa itu. Soekarno senantiasa mengatakan nasionalisme Indonesia berbeda dari nasionalisme di mana pun karena nasionalisme Indonesia ”bukan nasionalisme yang timbul dari kesombongan belaka”, ”bukan nasionalisme yang menyerang-nyerang”, karena nasionalisme kita adalah nasionalisme ”ketimuran”.

Sjahrir tanpa tedeng aling-aling mengatakan nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah (de projectie van het inferioriteits-complex, IO, hlm. 178). Sebagaimana kita tahu, pandangan ini pun tidak jauh dari pandangan Julien Benda, kritikus intelektual Prancis, yang mengatakan nasionalisme adalah bentuk korup dari semangat kecendekiaan dan malah menjadi bagian dari nafsu kekuasaan. Sjahrir dan Benda bersetuju dalam hal ini.

Karena itu, Sjahrir mengatakan dia tidak pernah benar-benar menjadi penganut paham ”non-ko”, karena sikapnya menolak kerja sama dalam Dewan Ra’jat lebih menjadi propaganda politik, dan tidak pernah memungkinkannya membangun suatu dasar filosofis di atasnya. Menolak kerja sama dengan Belanda hanya pencerminan dari ketidakpahaman terhadap perkembangan dunia yang lebih luas; dunia sudah berubah. Namun nasionalisme berjalan di tempat.

Renungan Jilid Dua: Perdjoeangan Kita
Perdjoeangan Kita adalah sesungguhnya renungan Sjahrir jilid dua, pascaproklamasi. Sementara renungan pertama adalah sesuatu yang reflektif ketika subyek Sjahrir dan obyek dunia dan Indonesia tidak diberi jarak, renungan jilid dua Sjahrir mengambil jarak sepenuh-penuhnya sehingga menjadi sesuatu yang rasional dengan tujuan yang hendak langsung dicapai dan dengan alat yang Sjahrir sendiri tahu dan diberi rekomendasi utama: membersihkan pemerintahan dari noda-noda fasis Jepang.

Perdjoeangan Kita diterbitkan pada November 1945, kira-kira tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Berbeda dengan renungan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Belanda, Perdjoeangan Kita ditulis dalam bahasa Indonesia karena, menurut pengantarnya sendiri, risalah tersebut ”mengoepas perkara pokok perdjoeangan kita sekarang” dan ”mengenai kehidoepan dan nasib ra’jat kita jang bermilioenan”.

Dalam masa tiga bulan bisa disaksikan semacam kekosongan, ketiadaan keputusan penting, dan malah ketiadaan pemerintahan. Sjahrir dengan tajam menunjukkan alasan mengapa terjadi hal-hal semacam itu. Pertama, yang mengambil alih dan mengendalikan pemerintahan adalah mereka yang berjiwa lemah yang biasa ”membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda”.

Kedua, perasaan bahwa kemerdekaan adalah karunia Jepang tidak memungkinkan mereka bertindak bahkan setelah Jepang kalah perang sekalipun. Ketiga, pemuda-pemuda tidak memiliki syarat untuk memimpin karena pemuda hanya cakap untuk ”menjadi serdadu... berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku, dan tidak pernah diajar memimpin”. Karena tidak berpengetahuan lain, semuanya menyalin mentah-mentah apa yang dipelajari dari Jepang, yaitu berpikir dan bertindak fasistis.

Sjahrir dan Prediksinya
Prediksinya secara mengagumkan tidak meleset. Sedangkan yang menyangkut dirinya self-fulfilling. Apa yang sudah ditulisnya 10 tahun sebelum merdeka, di Banda Neira, akhirnya mendapatkan kepenuhan pada 1945. Apa yang dikhawatirkan dalam ”individu dan masyarakat” semakin menjadi kenyataan ketika mereka yang mendapatkan pendidikan militeristis Jepang mulai memegang tampuk pemerintahan republik baru. Sjahrir tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengalami otoritarianisme bangsanya sendiri ketika dia dipenjarakan di Madiun pada 1960 oleh militer dalam Demokrasi Terpimpin. Dia sakit di penjara, dikirim oleh pemerintah Soekarno ke rumah sakit di Swiss, dan menemui ajal di negeri asing itu pada 1965.

Bilamana dia hidup lebih lama lagi, dia pun akan menyaksikan bahwa apa yang ditakutinya pada 1934 mendapat kepenuhan dengan intensitas berlipat-ganda 30 tahun kelak dalam Orde Baru, yang selama 40 tahun mengerjakan neofasisme militer, yang tidak saja menguasai, tapi demi nafsu kesatuan, juga memporakporandakan bangsa ini.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.20090309.KL129719.id.html


Sutan Sjahrir: Titian Sosialisme ke Demokrasi
IGNAS KLEDEN
Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)

PEMIKIRAN politik kiri, yaitu filsafat politik yang menekankan persamaan dan keadilan, merupakan semangat zaman sekaligus intellectual fashion tempat hampir semua pendiri Republik Indonesia bertumbuh dan menjadi matang. Soekarno terpukau pada teori imperialisme Lenin, Hatta mempelajari ekonomi sosialis negara-negara Skandinavia dan memperjuangkan koperasi sebagai perwujudan ekonomi kerakyatan, Tan Malaka mencoba menerjemahkan sosialisme ilmiah ke dalam teori Madilog sebagai epistemologi materialis untuk mengikis alam pikiran mistis dan takhayul, sedangkan Sjahrir memperkenalkan dan mendirikan partai politik dengan asas sosial-demokrasi.

Dalam sejarah sosialisme di Barat—sebagaimana dijelaskan Sjahrir —konsep sosial-demokrasi muncul pertama kali di kalangan kaum sosialis Jerman di bawah pimpinan Eduard Bernstein, setelah berdirinya Gerakan Buruh Internasional II (dikenal sebagai Internasional II) di Paris pada Juli 1889. Internasional II lahir dua dasawarsa setelah Internasional I yang didirikan pada 1864 dengan mengikuti gagasan Marx, hancur berantakan oleh revolusi 1871 yang menelan korban lebih dari 20 ribu jiwa.

Menjelang akhir abad ke-19 terjadi perkembangan baru dalam industri di Eropa, yang tak sesuai dengan ramalan Marx tentang tahapan-tahapan menuju revolusi proletar. Industri bertumbuh pesat, kaum pekerja pabrik bertambah banyak dan proletarisasi memang meluas, tetapi kaum buruh tidak menjadi semakin miskin dan sengsara, tidak mengalami Verelendung sebagaimana diramalkan Marx. Demikianpun buruh tidak menjadi lebih radikal karena ditemukan metode baru untuk memperbaiki nasib mereka melalui mogok dan hak pilih.

Bernstein tampil dan mengusulkan agar kaum sosialis Jerman melepaskan diri dari ajaran Marx dan mendirikan partai politik sendiri. Sifat internasional gerakan buruh ditolak, karena menurut Bernstein dan pengikutnya, buruh tetap mempunyai tanah air. Ajaran Marx perlu direvisi secara besar-besaran sehingga gerakan ini dinamakan revisionisme di kalangan Marxis. Pemisahan kaum sosialis Jerman dari Marxisme ortodoks ditandai oleh terbitnya buku Bernstein berjudul Voraussetzungen des Sozialismus und die Aufgaben der Sozialdemokratie (syarat-syarat sosialisme dan tugas-tugas sosial-demokrasi) pada 1899.

Seperti biasa, munculnya kritik kepada Marx menimbulkan anti-kritik yang sama gencarnya mempertahankan Marxisme. Alhasil, pergolakan dalam kalangan Marxis Jerman melahirkan tiga sayap pergerakan, yaitu sayap kanan di bawah pimpinan Bernstein yang menganjurkan sosial-demokrasi, sayap tengah dengan dua tokoh utama, August Bebel dan Karl Kautsky, yang menolak mogok sebagai metode perjuangan kaum pekerja, dan sayap radikal di bawah Rosa Luxembourg. Internasional II praktis bubar dengan pecahnya Perang Dunia I, sampai muncul Internasional III sesudah pecah Perang Dunia II. Tiga pimpinannya yang kemudian memainkan peranan penting adalah Lenin, Trotsky, dan Stalin, yang mencoba menghidupkan kembali impian semula dari Marx, yaitu mengobarkan revolusi proletar di seluruh dunia.

Menarik bahwa meskipun pemikiran politik kiri, khususnya Marxisme, menjadi suasana umum dalam alam pikiran para pendiri republik Indonesia, yang mempersatukan semua mereka adalah nasionalisme dan keyakinan tentang kemerdekaan tiap bangsa sebagai sesuatu yang niscaya dan mungkin dilaksanakan. Aneh sekali, misalnya, bahwa Tan Malaka, yang menjadi seorang Marxis sejak muda, menjadi tokoh pertama yang memikirkan dan merencanakan bentuk negara Indonesia yang akan merdeka, yaitu republik. Ini jelas menyimpang dari Marxisme ortodoks yang amat menekankan sifat internasional dari gerakan proletar sedunia.

Menarik juga bahwa tidak banyak dari antara para pendiri republik yang berbicara tentang demokrasi sebagai isu penting untuk Indonesia Merdeka. Mungkin hanya Hatta dan Sjahrir yang memberi perhatian khusus kepada pentingnya demokrasi sebagai sistem politik yang dapat diusulkan dan melakukan pendidikan politik untuk mempersiapkannya. Koperasi dalam pengertian Hatta tak lain dari perwujudan demokrasi dalam bidang ekonomi. Sementara itu Sjahrir tak bosan-bosannya mewanti-wanti risiko pemikiran kiri dan euforia nasionalisme yang tidak diimbangi dengan semangat demokratis.

Terhadap pemikiran Marxis Sjahrir menolak bahwa individu tidak penting dan hanya menjadi unsur dan nomor dalam perjuangan kelas. Terhadap Bolsyevisme Lenin yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin, dia mengecam keras adanya partai tunggal dan politbiro dengan kekuasaan tak terbatas. Dia tidak percaya bahwa Partai Komunis hanyalah peralihan sementara sebelum tercapai pemerintahan oleh kaum proletar dan bahwa pengorbanan manusia dalam perjuangan itu harus diterima sebagai necessary evil yang tak terhindarkan. Dengan sinis dia bertanya: bagaimana mungkin adanya partai tunggal yang dibenarkan oleh negara dan adanya politbiro yang demikian totaliter masih sejalan dengan teori Lenin tentang menghilangnya negara atau the withering away of the state, ketika proletar sudah sanggup memerintah dirinya sendiri?

Dalam pidatonya di depan Kongres Sosialis Asia II di Bombay pada 6 November 1956 Sjahrir berkata: ”Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai ketidaksabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas dan kesusilaan kelas, mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.” Di sini terlihat Sjahrir berpaling ke demokrasi, yang mengakui bahwa secara politik rakyat berhak memerintah dirinya sendiri berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan secara moral kedudukan, hak serta martabat setiap orang harus dihormati dan dibela berdasarkan prinsip human dignity.

Dia menentang kekuasaan politik yang ditentukan berdasarkan susunan hierarkis dalam feodalisme maupun dalam politbiro ala Bolsyevik. Menurut Sjahrir, dalam pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia, sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal, tetapi dengan satu perbedaan. Yaitu, bahwa pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi sering kali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar.

Dia cukup realistis untuk melihat bahwa perwujudan kedaulatan rakyat hanya mungkin terlaksana apabila suatu bangsa sudah terbebas dari penjajahan asing. Karena itu dia memihak sepenuh hati kepada perjuangan kemerdekaan dan turut mendukung dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya revolusi nasional, yang membuatnya dapat bekerja sama dengan tokoh lain yang menjadi sasaran kritiknya seperti Soekarno dan Tan Malaka. Akan tetapi dalam keyakinannya, revolusi nasional itu harus segera disusul oleh revolusi sosial, untuk mengubah susunan dan pandangan masyarakat agar pimpinan politik tidak telanjur jatuh ke tangan orang-orang yang berpikiran feodal. Kalau ini terjadi keadaannya akan menjadi sangat berbahaya karena susunan hierarkis feodal dapat segera bersekutu dengan fasisme, yang dengan mudah memanipulasi nasionalisme yang tak terkendali menjadi chauvinisme, yang bakal mempersulit pergaulan demokratis pada tingkat internasional.

Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekerasan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan secara intuitif Dialektik der Aufklaerung (dialektik pencerahan) yang dicanangkan Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt pada 1969, bahwa akal yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.

Dalam sebuah esai yang penting Sjahrir menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Pikiran dan tindakan hendaknya ”tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan”. Tampaknya ada dialektik antara Sjahrir dan kebudayaan masyarakatnya, dan tuntutan Sjahrir mungkin hanya separuh benar. Dia lupa bahwa akal harus memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri Sjahrir sendiri, dengan meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.20090309.KL129735.id.html


Mencari Ahli Waris Ideologis Sjahrir
VEDI R. HADIZ
Staf pengajar Jurusan Sosiologi, Universitas Nasional Singapura (NUS)

DALAM sejarah Indonesia, Sutan Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan tokoh gerakan buruh yang andal pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar terhadap masalah pendidikan rakyat. Liberalismenya terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. Tak mengherankan bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.

Tidaklah mengejutkan bahwa ideologi yang diperjuangkan Sutan Sjahrir mengalami rintangan pada masa Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru yang otoriter. Tetapi, Indonesia sekarang adalah negara demokrasi, bahkan negara demokrasi yang paling tegak di seluruh Asia Tenggara mengingat beberapa perkembangan anti-demokratis di Filipina, dan terutama Thailand, belakangan ini. Sebagai negara demokrasi, barangkali kita berharap menemukan para ahli waris garis ideologi yang diperjuangkan oleh Sutan Sjahrir di antara berbagai kekuatan politik yang sekarang bersaing secara bebas dan terbuka untuk memimpin Indonesia.

Tetapi, dalam kenyataannya, sangat sulit mengidentifikasi adanya ahli waris langsung tradisi ideologis Sutan Sjahrir di antara sekian banyak tokoh dan partai politik yang sedang menyiapkan diri untuk bertarung dalam pemilu 2009. Yang terlintas dalam benak hanya sebuah partai kecil yang dirintis oleh ekonom (almarhum) Dr Sjahrir, yang tidak bisa diharapkan secara realistis menjadi salah satu petarung utama dalam ajang pemilu.

Sebenarnya hal ini merupakan cerminan suatu fenomena sosiologi dan politik yang agak aneh. Memang, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sutan Sjahrir diketahui meraih prestasi yang amat buruk dalam Pemilu 1955: hanya mampu memperoleh lima kursi di parlemen dan dua persen suara. Tetapi hasil ini dapat dijelaskan secara sosiologis dengan menunjuk kepada struktur sosial Indonesia pada waktu itu. Basis kemasyarakatan PSI boleh dikatakan agak terbatas dengan ketidakhadiran suatu kelas menengah yang berarti, yang diharapkan akan peduli dengan soal-soal hak dan kebebasan individu. Kelas buruh Indonesia juga masih amat terbatas, apalagi banyak anggotanya dapat diperkirakan justru menjadi sumber dukungan berarti bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berseberangan dengan Sutan Sjahrir. Struktur sosial semacam ini adalah konsekuensi perkembangan kapitalisme yang relatif terbatas, dan yang sedang mengalami stagnasi pada tahun-tahun awal kemerdekaan.

Mungkin saja benar bahwa PSI pada 1950-an telah menjadi anomali sebagai partai kaum intelektual di tengah suatu masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah sekali. Tetapi jumlah kaum terdidik di Indonesia sekarang cukup banyak dibandingkan setengah abad yang lalu. Kaum buruh saja memiliki tingkat melek huruf yang lumayan tinggi sebagai hasil dari sistem pendidikan nasional yang diadakan secara meluas serta sudah tidak asing lagi dengan persoalan-persoalan hak. Pola konsumsi di kota-kota besar dan kecil di Indonesia memberikan indikasi hadirnya kelas menengah yang lebih signifikan dan juga beragam, termasuk kaum profesional yang kian mempunyai ambisi sosial tinggi.

Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan kapitalisme yang pesat di masa lalu, terutama sebelum keanjlokan Orde Baru. Kalaupun sebuah partai sosial demokrat atau liberal belum dapat diharapkan menang dalam pemilu di Indonesia, seharusnya ia dapat memainkan peranan yang lumayan signifikan mengingat konteks yang sudah berubah. Tetapi, adakah Indonesia memiliki suatu partai liberal andal yang dapat dikatakan mewakili kepentingan kelas menengahnya? Apakah ada partai berhaluan sosial demokrat, atau bahkan lebih radikal, yang dapat dikatakan mewakili aspirasi kaum buruh Indonesia? Sekali lagi, dalam kenyataannya partai-partai semacam ini masih absen dalam kancah politik. Kalau begitu, di mana kita bisa menemukan ahli waris ideologi Sutan Sjahrir dalam masyarakat Indonesia yang sudah sepuluh tahun menikmati alam demokrasi?

Di masa Orde Baru, sebagian pengikut Sutan Sjahrir dapat ditemukan dalam peranan sebagai teknokrat pemerintahan. Sebagian lagi dapat ditemukan di kalangan oposisi politik, dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Sebagai golongan intelijensia, pikiran mereka mencuat dalam seminar-seminar tentang masalah politik dan pembangunan dan tidak jarang pula muncul dalam halaman opini surat kabar atau majalah berita.

Tetapi suasana depolitisasi yang dikembangkan secara sistematis oleh Orde Baru praktis menutup kemungkinan untuk betul-betul berorganisasi di tingkat bawah. Sementara itu, konstituen potensial suatu partai sosial demokrat ataupun liberal berkembang dalam suatu alam pemikiran tertutup yang bergelimang materialisme vulgar.

Kelas menengah kota Indonesia mengembangkan nilai-nilai sosial politik yang konservatif, dan untuk sebagian lebih memberikan tempat bagi perluasan sentimen xenofobis yang berlandaskan ikatan primordial sempit daripada hak-hak yang bersifat universal. Persoalan hak sosial dan politik dikesampingkan demi kenikmatan kehidupan material di bawah perlindungan rezim yang otoriter. Kelas buruh pun, dengan beberapa pengecualian, praktis tak terjamah secara politik, terlepas dari kegiatan organisasi di kalangan mereka yang meningkat cukup pesat pada 1990-an.

Karena itu kaum intelijensia sosial demokrat dan liberal sudah menjadi semakin terputus dari masyarakat ketika reformasi akhirnya bergulir. Mereka tak memiliki basis sosial yang kukuh untuk menjadi pemain inti dalam pertarungan reformasi. Akibatnya masih dirasakan sekarang: partai politik di Indonesia dikuasai oleh petualang dan pialang yang tidak bervisi dan berprinsip, tidak berpikir maju, dan hanya sibuk dengan politik tawar-menawar tak berkesudahan di belakang layar.

Demokrasi Indonesia pada dasarnya memerlukan partai-partai sosial demokrat, liberal—dan bahkan yang lebih radikal—untuk memberikan isi kepada kehidupan politik dewasa ini. Demokrasi Indonesia memerlukan partai-partai yang akan memberikan makna lebih substansial kepada hak-hak formal yang sudah dimenangkan dengan susah payah sejak kejatuhan Orde Baru. Partai semacam itu dibutuhkan untuk menyediakan tantangan kepada para penjarah dan koruptor masa lalu yang masih bercokol dalam berbagai institusi publik. Dengan kata lain, demokrasi Indonesia sedang mencari para ahli waris ideologis Sutan Sjahrir, yang bukan saja intelektual piawai melainkan juga mengakar pada masyarakat serta mampu berorganisasi secara efektif.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.20090309.KL129755.id.html


Sutan Sjahrir: Sebuah Kekecualian Zaman
MUHAMMAD CHATIB BASRI
Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia

SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi zamannya. Mungkin ia terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah tungku yang memanggang anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru datang dengan sesuatu yang mendinginkan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional tidak final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya dalam kebebasan. Tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi.

Saya sulit membayangkan, di satu masa ketika nasionalisme begitu berapi-api, ketika kemerdekaan seperti menjadi obsesi dan tujuan akhir bangsa, Sjahrir justru berbicara tentang sesuatu yang lebih jauh dari itu. Di masa ketika nasionalisme seperti menjadi pegangan garis perjuangan, Sjahrir mengingatkan: tanpa demokrasi, nasionalisme bisa bersekutu dengan feodalisme.

Persekutuan tak suci ini memiliki potensi menimbulkan totalitarianisme. Sebagai seseorang yang mendambakan kebebasan individu dan menentang totalitarianisme, Sjahrir begitu kritis terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, dan juga terhadap totalitarianisme kiri, yaitu komunisme. Nasionalisme juga punya bakat untuk mendorong totalitarianisme.

Sjahrir benar, sejarah dunia sudah membuktikan ini. Itu sebabnya, dalam skala global, menurut dia, nasionalisme harus tunduk kepada humanisme. Bahkan, di zaman ini, ketika batas-batas negara mulai dipertanyakan, Sjahrir barangkali masih dianggap terlalu di depan. Sutan Sjahrir, yang menjadi perdana menteri pada usia 36 tahun, memang sebuah kekecualian untuk zamannya.

Bagi orang yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kebebasan ini, dari mana pun asalnya, totalitarianisme akan menindas kebebasan individu. Itu sebabnya ia menentang diktator proletariat. Namun amat salah jika orang kemudian menyimpulkan bahwa kebebasan yang dijunjung tinggi olehnya akan sejalan dengan pandangan kaum borjuis demokratik Revolusi Prancis. Dalam Perdjoeangan Kita, Sjahrir menulis, ”…ialah pelopor yang membersihkan jalan untuk dunia kapitalisme dan imperialisme, sedangkan revolusi kita harus dianggap sebagai salah satu revolusi yang menyumbang kesudahannya.”

Ada sebuah debat filosofis yang menarik di sini. Di satu sisi Sjahrir memuja kebebasan individu, tapi di sisi lain ia mengatakan revolusi yang diinginkannya bukan pelopor jalan kapitalisme. Sebagai seorang sosialis, Sjahrir jelas membayangkan sebuah negara yang dapat menjadi representasi sosial. Ia jelas tak percaya kepada mekanisme pasar. Ia melihat pentingnya peran negara dalam menjaga kaum miskin. Ia menginginkan sebuah kebijakan yang merepresentasikan preferensi sosial dan menjaga kebebasan individu. Di sini soalnya.

Pemenang Nobel Ekonomi, Kenneth Arrow, pernah menunjukkan: tidak mungkin ditemukan sebuah bentuk keinginan atau preferensi sosial yang konsisten dengan preferensi individu. Kehendak mayoritas memang kerap dianggap sebagai metode paling umum untuk pengambilan keputusan sosial dalam demokrasi. Namun harus disadari: cara pengambilan keputusan seperti ini memungkinkan adanya represi mayoritas terhadap minoritas. Sebagai contoh, jika ada tiga orang dengan tiga alternatif pilihan, apel, jeruk, dan mangga, orang pertama memiliki preferensi untuk memilih apel dibanding jeruk, dan jeruk dibanding mangga. Sedangkan orang kedua lebih memilih jeruk ketimbang mangga, serta mangga dibanding apel; orang ketiga lebih memilih mangga dibanding apel, dan apel dibanding jeruk.

Di sini kita akan melihat bahwa metode pengambilan keputusan berdasarkan mayoritas akan berujung pada suatu kondisi inkonsistensi. Dalam kasus di atas, kita bisa melihat bahwa secara mayoritas apel lebih disukai ketimbang jeruk, yang juga memiliki mayoritas atas mangga. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa mayoritas memilih mangga atas apel. Di sini prinsip transitivity telah dilanggar.

Temuan Arrow yang dikenal sebagai the impossibility theorem kemudian menunjukkan tidak ada satu cara pengambilan keputusan sosial yang konsisten, kecuali jika kita menerima sistem diktatorial di mana preferensi seseorang (misalnya preferensi orang pertama) dianggap merepresentasikan preferensi sosial. Dengan kata lain, kebebasan individu tidak bisa direpresentasikan oleh preferensi sosial, kecuali jika kita menerima sebuah sistem diktatorial. Jelas ini sebuah sistem yang ditentang oleh Sutan Sjahrir. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya teringat Amartya Sen. Sutan Sjahrir pasti tak membaca Sen, karena ia hidup beberapa dekade sebelum pemikiran Sen dikenal. Sen mencoba menjawab argumen Arrow dengan memasukkan unsur informasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam pemikirannya, Sen juga menempatkan peran yang amat besar bagi kebebasan dan persamaan (equality). Dalam bukunya, Inequality Reexamined (1992), ia menunjukkan bahwa persamaan memegang peran yang amat penting dalam semua filsafat politik. Bagi Sen sendiri, persamaan harus dipahami dalam konteks bagaimana ia mampu meningkatkan kapabilitas untuk memperoleh hidup yang layak (well being).

Di sini elemen kebebasan menjadi sangat penting karena—seperti yang dijelaskan dengan sangat teknis oleh Sen—kapabilitas harus merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Sen memberikan contoh: melek huruf, misalnya, memungkinkan orang membaca.

Kapabilitas dengan kata lain adalah sebuah bentuk kebebasan untuk mencapai berbagai alternatif functionings atau pilihan atas variasi hidup. Seseorang yang berpuasa, misalnya, mungkin memiliki functionings yang sama dalam hal jumlah makanan atau gizi seperti mereka yang miskin dan terpaksa lapar, tapi mereka yang berpuasa dan tidak miskin memiliki capability set (kumpulan kapabilitas) yang lebih besar dibanding mereka yang miskin (yang pertama sebenarnya dapat memilih untuk makan atau tak makan, sedangkan yang kedua tidak).

Itu sebabnya kemiskinan harus dipandang dalam konsep ini. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting.

Terus terang saya begitu terkesima bahwa Sutan Sjahrir sudah membicarakan debat yang dibahas Sen ini jauh beberapa dekade sebelumnya—tentu tidak dalam format matematika yang rumit atau rumusan akademik yang kaku. Buku Sen, Development as Freedom, juga mengingatkan saya kepada pemikiran Soedjatmoko, yang berada satu garis dengan Sutan Sjahrir. Pemimpin Partai Sosialis Indonesia—yang kerap diidentikkan dengan gudang intelektual langka massa—ini memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

Satu bagian dari Perdjoeangan Kita yang juga menarik dikaji adalah sikap Sjahrir yang bagi banyak kaum revolusioner—atau yang merasa dirinya radikal—dianggap lemah dan mungkin sebuah kekalahan. Sjahrir tak berteriak keras kepada asing. Ia menulis: …. Selama dunia tempat kita hidup dikuasai oleh modal, kita harus memastikan bahwa kita tidak memiliki kebencian yang dalam pada kapitalisme. Ini menyangkut negeri kita yang dibuka untuk kegiatan ekonomi asing sejauh mungkin—selalu dengan syarat tidak merusak kesejahteraan rakyat kita. Begitu pula dengan masuknya orang asing ke negara kita.

Sjahrir seperti mengisyaratkan bahwa tak perlu pembedaan antara modal asing dan pribumi, dan kerja sama dengan kapitalisme tak terhindarkan selama itu membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Mengejutkan, suara ini terdengar seperti suara yang membuka diri bagi globalisasi. Ia tak berbicara soal batas negara, ia berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya kira Sutan Sjahrir bisa sampai pada argumen ini karena pada dasarnya ia seorang humanis yang menjunjung tinggi kebebasan. Ada sesuatu yang lebih tinggi ketimbang batas geografis, dan itu adalah kesejahteraan manusia. Ia tak terkekang oleh nasionalisme. Sesuatu yang mungkin bagi orang sezamannya—bahkan bagi banyak orang saat ini—dianggap melampaui zamannya. Sutan Sjahrir memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.20090309.KL129730.id.html

Sjahrir Adalah ...

Sjahrir Adalah ...

ROSIHAN ANWAR
Periang dan Nggak ’Cetek’

Bagi Rosihan Anwar, 87 tahun, Sutan Sjahrir bukan orang kaku. ”Tiap saya ketemu dia, kami suka bercanda. Tapi tidak berarti dia cetek (ilmunya),” kata wartawan senior ini. Buktinya, Sjahrir sudah mengetahui lebih dulu akan ada perang dingin antara Blok Barat dan Timur pada pertengahan 1940-an, mendahului pengetahuan pemimpin Indonesia lainnya. ”Tapi dia juga sosok yang ditakuti (pemerintah kolonial Belanda),” kata pendiri Persatuan Wartawan Indonesia itu.

Menurut penerima gelar Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, mestinya generasi muda sekarang membaca, mempelajari, dan menerapkan ide-ide brilian Sjahrir. Yakni, gagasan yang melahirkan demokrasi, ekonomi kerakyatan, kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Bagi Rosihan, sah-sah saja ide Sjahrir digunakan para calon legislatif atau kandidat presiden dalam kampanye mereka. Tapi, dia mengingatkan, jangan dangkal memahami gagasan Sjahrir.

HAPPY SALMA
Lebih Kenal Setelah Renungan

Tanggal 8 April 2006 merupakan titik perkenalan kembali Happy Salma dengan Sutan Sjahrir. Meski sudah mengetahui siapa Sjahrir dari pelajaran sejarah di sekolah dasar, dara kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 29 tahun ini mengaku lebih banyak mengenal Sjahrir dalam acara ”Sutan Sjahrir Memorial Lecture 2006”. Dalam acara itu, Happy membacakan renungan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. ”Aku membaca kutipan pemikiran Sjahrir,” kata Happy.

Menurut dia, Sjahrir adalah sosok diplomat andal. Dialah salah satu pemimpin negeri ini yang memperkenalkan Indonesia ke bangsa-bangsa lain di dunia. Menurut Happy, merdeka saja tidaklah cukup jika tidak memiliki hubungan internasional dengan baik. ”Namun dia juga berpendirian keras. Hingga akhirnya disingkirkan,” ujarnya.

ROBERTUS ROBERT
Penyatu Demokrasi dan Revolusi

Sutan Sjahrir adalah orang pertama yang mengajukan pandangan politik ganda, yakni demokrasi dan revolusi. Di dalam Sjahrir, demokrasi dan revolusi adalah dua menu yang bisa dibedakan dan tidak perlu dipertentangkan. ”Pemikiran ini masih cocok dalam matriks kepolitikan sekarang,” kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Robertus Robert.

Menurut Robertus, Sjahrirlah yang memutus kebencian sosial dengan menggelontorkan ide humanisme dan universalisme. ”Inilah yang mentransformasi masyarakat Indonesia dari bibit feodalisme dan fasisme sekaligus,” ujarnya.

Bagi Sjahrir, integrasi sosial melalui pengukuhan negara hanya sah apabila didasarkan pada keadilan dan kesejahteraan. ”Pemikiran dan pandangan politiknya relevan hingga sekarang,” katanya.

DITA INDAH SARI
Akhir Tragis Sang Pendiri Bangsa

Akhir hayat yang tragis dialami Sutan Sjahrir ketika harus menghabiskan masa tua di dalam penjara. ”Sangat disayangkan, seorang di ujung hidupnya harus berada dalam penjara di alam kemerdekaan, di mana dia ikut mendirikan bangsa ini,” kata Dita Indah Sari, calon anggota legislatif dari Partai Bintang Reformasi.

Meski tidak terlibat langsung, kata Dita, Sjahrir mendukung pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan pemerintahan yang sah ketika itu, yakni pemerintahan Soekarno. Sikap ini bertolak belakang dengan pilihannya ketika bangsa ini menghadapi agresi Belanda: ia memilih metode diplomasi dan menolak cara kekerasan.

Menurut mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional ini, Sjahrir adalah tokoh pemikir, konseptor, dan teoretikus. Karena itu, gagasannya lebih dekat kepada kaum terpelajar dan bergerak di kalangan intelektual, bukan kalangan bawah. Akibatnya, pemikiran Sjahrir tidak begitu dikenal masyarakat kebanyakan. Namun Sjahrir tetap anti-fasisme, anti-mengagungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi.

RIEKE DYAH PITALOKA
Membangun Ide Ekonomi Kerakyatan

Gagasan ekonomi kerakyatan Sutan Sjahrir menjadi salah satu ide kampanye calon anggota legislatif Rieke Dyah Pitaloka. Menurut kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, gagasan tersebut masih relevan dan sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 tentang pengelolaan kekayaan alam. ”Sebagai dasar kepemilikan sosial terhadap sumber kekayaan alam,” kata pemain film Berbagi Suami ini.

Dia mencontohkan salah satu daerah pemilihannya, Kecamatan Citatah, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Kawasan ini semula dikenal sebagai daerah wisata panjat tebing. Kini Citatah dieksploitasi menjadi penambangan batu alam. ”Warga di situ hanya menjadi buruh kasar,” katanya.

Yang penting, menurut Rieke, bagaimana sosialisme tidak sekadar menjadi wacana, tapi direalisasikan melalui pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Menurut pendiri Yayasan Pitaloka yang bergerak di bidang sastra dan sosial kemasyarakatan ini, Sjahrir membuat sosialisme dan demokrasi berada dalam satu bangunan dan bersinergi. ”Dia tokoh konsisten,” katanya. ”Apa yang dipikirkan, itulah yang dia kerjakan.”

ANIS MATTA
Sejalan dengan Sisi Moderat Sjahrir

Pemikiran sosialis tak selalu berhadapan dengan nilai-nilai Islam. Titik persamaan Partai Keadilan Sejahtera dengan Sjahrir adalah pada sikap moderat. ”Kita ketemu dengan Sjahrir di moderat, bukan ekstremisme,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Anis Matta.

Dalam sejarah pemikiran Islam modern, menurut pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini, banyak pemikir pergerakan Islam yang sebenarnya memiliki akar sosialisme. ”Ini adalah fenomena yang jarang diungkap,” katanya. Contohnya adalah tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb. Menurut Anis, pada mulanya Sayyid Qutb memiliki latar belakang sosialis, kemudian pindah menjadi aktivis pergerakan Islam. ”Jadi sebenarnya ada ide awal yang sama,” ujarnya.

Karena itu, jarang terjadi debat pemikiran politik antara kelompok Islam dan sosialis pada zaman Sjahrir. Justru paling banyak perdebatan antara sosialis dan kelompok nasionalis. Di Indonesia, menurut Anis, hanya ketika sosialisme berkembang menjadi sangat ekstrem, yakni ke arah komunisme, barulah terjadi pertentangan.

BUDIMAN SUDJATMIKO
Terlalu Moderat pada Zamannya

Di mata Budiman Sudjatmiko, Sutan Sjarir adalah orang yang terlalu moderat pada zamannya. ”Jadi tidak nyambung dengan dinamika politik masyarakat ketika itu,” kata pendiri Partai Rakyat Demokratik ini.

Walhasil, meski sukses mendirikan Partai Sosialis Indonesia, dan menggaet kalangan intelektual, partai bentukan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin ini gagal bersaing dengan partai kiri lainnya, seperti Partai Komunis Indonesia, dan juga dengan Partai Nasional Indonesia, dan Masyumi.

Walau Sjahrir dikenal sebagai seorang sosialis, menurut Budiman—yang kini bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—gagasan-gagasannya menunjukkan Sjahrir seorang liberal progresif, ketimbang sosialis. Buktinya, dia menunjukkan demokrasi dan pluralisme. ”Artinya, dia seorang liberal progresif dan humanis demokratis,” katanya.

Salah satu ajarannya yang terwariskan kepada generasi yang akan datang, kata pria 38 tahun ini, adalah ekonomi kerakyatan. Dia sepakat, keadilan sosial ekonomi hanya bisa dicapai dengan cara demokrasi. Semua orang setuju pemerataan, keadilan sosial, dan egalitarian yang dilakukan dengan cara yang demokratis. ”Itulah inti gagasan yang dibawa Sutan Sjahrir,” katanya.

Kedudukan Sjahrir, menurut Budiman, setara dengan Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Aidit, dan Semaun, yang memberikan kontribusi pemikiran sosialisme dan kemerdekaan di republik ini.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129756.id.html

Peran Besar Bung Kecil

Peran Besar Bung Kecil

Sutan Sjahrir adalah satu dari tujuh ”Bapak Revolusi Indonesia ”. Dia mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang ”Bapak Revolusi” lain. Ideologinya, antifasis dan antimiliter, dikritik hanya untuk kaum terdidik. Maka dia dituduh elitis. Sejatinya, Sjahrir juga turun ke gubuk-gubuk, berkeliling Tanah Air menghimpun kader Partai Sosialis Indonesia . Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil—begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.

TIM EDISI KHUSUS TEMPO
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto dan Seno Joko Suyono
Kepala Proyek: Bagja Hidayat dan Philipus Parera
Penyunting: Seno Joko Suyono, Nugroho Dewanto, Arif Zulkifli, Wahyu Muryadi, Amarzan Loebis, M. Taufiqurohman, Toriq Hadad, Hermien Y. Kleden, Leila S. Chudori, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Budi Setyarso, Bina Bektiati, Mardiyah Chamim, Yosrizal Suriaji, Yosep Suprayogi, Putu Setia
Penulis: Bagja Hidayat, Nugroho Dewanto, Seno Joko Suyono, Sapto Pradityo, Adek Media Roza, Yandi M. Rofiyandi, Kurie Suditomo, Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika, Anne L. Handayani, Padjar Iswara, Firman Atmakusuma, Arif A. Kuswardono, Ramidi, Retno Sulistyowati, Ahmad Taufik, Irfan Budiman, Angela Dewi, Andari Karina Anom, M. Nafi, Budi Riza, Agus Supriyanto, Yuliawati, Harun Mahbub, Nunuy Nurhayati, Sita Planasari Aquadini, R.R. Ariyani, Anton Aprianto, Rini Kustiani, Martha Warta Silaban
Penyumbang Bahan: Akbar Tri Kurniawan, Cornila Desyana, Iqbal Muhtarom, Febrianti (Padang), Sutana Monang Hasibuan (Medan), Asmayani Kusrini (Belanda), Ahmad Fikri dan Alwan Ridha Ramdani (Bandung), Nanang Sutisna (Karawang), Ivansyah (Kuningan), Bibin Bintariadi (Malang), Hari Triwarsono (Madiun)
Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho
Riset: Dina Andriani, Endang Ishak
Foto: Bismo Agung (Kepala), Mazmur Andilala Sembiring, Aryus P. Soekarno, Nickmatulhuda, Aditya Herlambang, Rully Kesuma
Desain: Gilang Rahadian (Kepala), Fitra Moerat Sitompul, Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah, Danendro Adi, Hendri Prakasa, Aji Yuliarto, Agus Darmawan, Tri Watno Widodo


Anak Minang Jago Menyerang

RUMAH panggung dengan halaman luas itu telah raib. Kompleks asri dengan pohon-pohon menjulang�yang dulu menjadi ciri permukiman di Jalan Mantri, Kelurahan Aur, Medan Maimun, Kota Medan itu tak lagi ada. Yang tinggal hanya barisan rumah�padat yang tak menyisakan halaman.

Dulu lingkungan Jalan Mantri dikenal sebagai permukiman kaum elite. Pejabat Belanda, juga�pribumi keturunan bangsawan berdiam di rumah sepanjang jalan itu. Di kompleks inilah Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia,�menghabiskan masa kecilnya.

"Rumah Sjahrir dulu di situ," kata Faskinar Rochman, 68 tahun, warga Jalan Mantri. Faskinar menunjuk bangunan beton bernomor 8 dengan pagar besi biru setinggi tiga meter. Sayang, bangunan ini sama sekali tidak mirip rumah asli Sjahrir.

Menurut Faskinar, keluarga Sjahrir tak lagi menempati rumah itu. Setelah kemerdekaan, adik Sjahrir menjualnya ke seorang pedagang keturunan Cina, bernama Lee Shang. Meski tak ditemukan jejaknya, beberapa warga usia lanjut di sana meyakini Sjahrir pernah bermukim di daerah itu. Namun hal itu tidak terdokumentasi. Badan Warisan Sumatera, lembaga yang peduli bangunan bersejarah pra-kemerdekaan, juga tak memiliki data tertulis tentang hal itu. "Kita hanya mendapatkan keterangan warga," kata Asmyta Surbakti, Wakil Ketua Badan Warisan Sumatera.

Medan kota kenangan Sjahrir semasa kecil. Di daerah kelahirannya, Padang Panjang, Sumatera Barat, Sjahrir hampir tak memiliki kenangan. Usianya baru setahun ketika ia meninggalkan kota itu dan bermukim di Jambi, mengikuti tugas sang ayah, Muhammad Rasyad, sebagai jaksa tinggi. Pada usia empat tahun, Sjahrir pindah ke Medan.

Tak banyak jejak Sjahrir yang terekam di Medan. Mrazek dalam Sjahrir:Politics and Exile in Indonesia (1994) menyebut Sjahrir dikenal sebagai anak lelaki terpandai keluarga Rasyad. Nilainya selalu 9 dari ujian berkala yang dilakukan ayahnya. Ia hanya lemah untuk urusan menulis indah.

Di usia enam tahun ia masuk Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah rendah Eropa, sekolah terbaik dan modern masa itu. Saat Sjahrir duduk di bangku ELS, Bibliotheek-perpustakaan untuk bangsa Hindia berbahasa Belanda-tengah gencar mencetak buku cerita anak. Di kemudian hari, Sjahrir mengaku membaca ratusan buku cerita itu.

Sjahrir beruntung mengenyam pendidikan di tengah perkembangan politik etis. Selain mendapatkan pendidikan ELS, setiap sore lelaki kelahiran 5 Maret 1909 itu juga mendapat pendidikan Islam dari orang tuanya. Dari ELS Sjahrir, yang lulus pada 1920, melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), juga di Medan. Sayang, dua sekolah itu tak lagi ada. Sekolah MULO itu kini hanya tanah kosong yang ditumbuhi rumput. Hairul dari Badan Warisan Sumatera menunjuk lahan kosong di depan Hotel Tiara, Jalan Cut Mutia, sebagi lokasi sekolah itu. Pada 1985, bangunan yang lantas menjadi SMP Negeri I Medan itu dirobohkan. Di sinilah dahulu Sjahrir mengenyam pendidikan menengah pertamanya dan lulus pada 1923.

Tak banyak sumber yang mengulas aktivitas Sjahrir di Medan. Mrazek mencatat Sjahrir penggemar sepak bola. Dia penyerang tengah yang andal. Di Hotel Ina Dharma Deli, Jalan Balai Kota, Medan Petisah, Kota Medan, terdapat jejak Sjahrir yang lain. Di bangunan mewah yang dulunya cuma diperuntukkan bagi orang kulit putih dan bernama Hotel de Broer itu, "Sjahrir kerap mencari uang saku dengan bermain biola di sana," tulis Mrazek. Namun bukti dalam bentuk dokumen tak ditemukan. "Saya tidak memiliki pengetahuan tentang keberadaan Sjahrir di sini," kata Lintong Siahaan, pengelola hotel sepuluh lantai itu.

Gambaran tentang Sjahrir kecil memang banyak bersembunyi dalam ingatan orang per orang. Di Banda Neira, tempat pembuangan Sjahrir, Des Alwi mendengar ayah angkatnya bercerita tentang masa kecilnya. Ia pernah mencuri rambutan di rumah seorang kapiten warga Tionghoa bernama Chong Afi. Rambutan itu dipetik beserta tangkai-tangkainya dan disimpan di bawah tempat tidurnya. Namun aksi itu dipergoki sang ayah, Muhammad Rasyad, sehingga ia dihukum.

Setelah menamatkan MULO, pada 1926 Sjahrir berlayar ke Jawa dengan tujuan Bandung. Di kota ini ia menumpang di rumah saudara tirinya, Radena, di Jalan Dr. Samjudo. Ia mendaftar ke Algemene Middelbare School (AMS) jurusan Barat klasik-jurusan yang mengarahkannya jadi jaksa, sebagaimana ayahnya. Pada mulanya, Sjahrir bukan murid yang menonjol. Namun, dalam perkembangannya, ia memperlihatkan karakternya yang pandai bergaul, pemberani, dan mahir mendebat gurunya.

Menurut Des Alwi, nasionalisme Sjahrir tumbuh pertama kali, tatkala mendengar pidato Dr Cipto Mangunkusumo. Saat itu Dr Cipto, yang telah dikenal sebagai tokoh pergerakan, berpidato di satu alun-alun di Bandung. Sjahrir, yang hidup di lingkungan pro-Belanda karena ayahnya pegawai Belanda, semula kurang menyukai pergaulan dengan kaum pemberontak. Namun kawan sekelasnya, Boediono, membujuk, mengajaknya jalan-jalan serta makan sate. Dari situlah untuk pertama kalinya Sjahrir terpukau dengan semangat kebangsaan. Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan, bahkan ikut membentuk perhimpunan "Jong Indonesie" dan majalah perhimpunan. Akibatnya, pemuda yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi.

Aktif dalam politik tak membuat Sjahrir meninggalkan hobinya bermain bola dan berkesenian. Ia menjadi anggota Club Voetbalvereniging Poengkoer, perkumpulan sepak bola di tempat tinggalnya. Ia juga anggota klub sepak bola Luno, di sekolahnya. Lapangan klub di Jalan Pungkur itu kini telah berubah menjadi gedung dan rumah tinggal.

Selain itu, bersama teman sekolahnya ia mendirikan perkumpulan sandiwara bernama Batovis. Kelompok ini sering manggung di gedung Concordia, Gedung Merdeka sekarang. Sjahrir berperan sebagai penulis naskah, sutradara, sesekali menjadi pemain. Hampir tiap bulan mereka mementaskan sebuah lakon. Orang Belanda banyak menyaksikan pertunjukan ini, karena menggunakan bahasa Belanda. Ke dalam ceritanya banyak disisipkan ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan saat itu.

Sjahrir mempunyai banyak teman, termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka mengundangnya berpesta. Ia mahir berdansa waltz, fox trot, dan charleston. "Sjahrir tidak membenci orang Belanda, yang dibenci paham imperialisme dan kolonialismenya," tulis Syahbuddin Mangandaralam, dalam Apa dan Siapa Sutan Sjahrir (1986).

Satu kegiatan Sjahrir yang terkenal di kalangan pelajar AMS adalah kebiasaannya membaca Algemene Indische Dagblad (AID). Buletin yang ditulis dalam bahasa Belanda itu dipasang di jendela setiap pukul enam sore. Surat kabar itu dimaksudkan untuk pembaca warga Belanda. Karena itu ia kerap diusir polisi Belanda, yang melarang anak sekolah membaca berita tersebut. Bangunan itu hingga kini masih ada, di Jalan Braga II, Bandung.

Sjahrir bergerak hampir di semua bidang. Dalam pergerakan, ia juga mendirikan Tjahja Volksuniversiteit atau Tjahja Sekolah Rakyat, yang memberikan pendidikan gratis untuk kalangan jelata.

Sjahrir dan kawan-kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi politik. Menurut Des Alwi, Sjahrir pernah bercerita, telah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan di setiap pertemuan. Bintangnya tentu mereka yang dikenal ulung berdebat.�Di situlah ia mengasah kemampuannya bersilat lidah.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129711.id.html


Rumah di Kaki Singgalang

SJAHRIR lahir di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Namun datanglah ke Padang Panjang, coba tanya masyarakat, di mana Sutan Sjahrir dilahirkan. Ternyata banyak yang tak tahu. "Katanya memang dilahirkan di sini. Tetapi tempatnya itu kami tidak tahu, mungkin karena ayahnya hanya sebentar bertugas di Padang Panjang," kata Taufik Dt. Mangkuto Rajo, tokoh masyarakat di sana.

Jawaban yang sama juga datang dari aparat pemerintah Padang Panjang. "Kami enggak tahu persis di mana Sutan Sjahrir dilahirkan," kata Zulkarnain Harun, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata. Tempo baru mendapat ancar-ancar di mana letak rumah kelahiran Sjahrir ketika menghubungi Siti Rabiah Parvati, putri Sutan Sjahrir, yang akrab dipanggil Upik, di Jakarta. "Sekitar sepuluh tahun lalu, saya dan ibu saya berusaha mencari rumah kelahiran Ayah di Padang Panjang, dan ada yang mengatakan lokasinya di Pesantren Diniyyah Putri," kata Upik.

Tempo menuju Perguruan Diniyyah Putri. Letaknya di Jalan Abdul Hamid Hakim Nomor 30, Padang Panjang. Perguruan Diniyyah Putri adalah pondok pesantren modern khusus putri yang didirikan Rahmah El Yunusiyyah pada 1923. Pimpinan Diniyyah Putri kini, Fauziah Fauzan, 38 tahun, mengaku mengetahui ihwal rumah kelahiran Sjahrir saat duduk di bangku SMA. "Saat itu ibu saya bilang, aula kita itu dulunya tempat kelahiran Sutan Sjahrir. Ibu mendapat cerita itu dari nenek saya, Hussainah Nurdin."

Aula itu cukup luas. Namun tak ada satu pun petunjuk Sjahrir pernah dilahirkan di sana. Tidak ada foto Sjahrir yang dipajang di situ. Gedung pertemuan ini bulan lalu pernah menjadi tempat Ijtimaq MUI se-Indonesia, yang mengeluarkan beberapa fatwa, di antaranya larangan merokok dan larangan golput.

l l l

Sementara di Padang Panjang jejak Sjahrir tak bisa ditemui, di Nagari Koto Gadang, sekitar 15 kilometer dari Padang Panjang, masih ada sedikit kenangan fisik masa kecil Sjahrir. Memasuki Koto Gadang di persimpangan jalan ada papan penunjuk arah ke jalan-jalan yang lebih kecil, ada yang bertulisan Jalan Sutan Sjahrir, Jalan Rohana Kudus, Jalan Agus Salim, dan Jalan Datuk Kayo.

Ayah Sjahrir, Muhammad Rasyad Maharajo Sutan, berasal dari Koto Gadang sementara ibunya, Siti Rabiah, dari Natal, Sumatera Utara. Ayah Sjahrir memiliki enam istri. Siti Rabiah ibu Sjahrir adalah istri kelima. Sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, mengatakan bahwa salah satu yang membentuk cakrawala intelektual Sjahrir tidak terlepas dari latar belakang keluarga modern ayahnya di Koto Gadang. Pada abad ke-19, di Koto Gadang, menurut Mestika Zed, Belanda membuat perkebunan kopi di lereng Gunung Singgalang dan Merapi. Sekolah-sekolah didirikan Belanda untuk mencetak tenaga kerja di perkebunan. Di Koto Gadang saat itu sudah ada tiga posisi karier pegawai negeri yang dianggap luar biasa di Hindia Belanda: angku doto (mantri), angku guru, dan angku jaksa. "Kakek Sutan Sjahrir (Lemang Sutan Palindin) dan ayah Sutan Sjahrir (Muhammad Rasyad Maharajo Sutan) adalah angku jaksa dan masuk ke kalangan elite pegawai Belanda," kata Mestika Zed.

Meski dari Padang Panjang kemudian keluarga Sjahrir tinggal di Medan, ia sering dibawa ayahnya ke rumah neneknya di Koto Gadang. Rumah nenek Sjahrir itu kini sudah lama menjadi rumah kosong. Terakhir ditinggali perajin perak. Saat Tempo ke sana tiga pekan lalu, rumah itu terkunci.

Bersebelahan dengan Jalan Sutan Sjahrir, ada Jalan Rohana Kudus. Rohana Kudus, wartawan perempuan pertama di Indonesia itu, adalah saudara tiri Sutan Sjahrir. Ia adalah putri Kiam, istri pertama ayah Sjahrir. Rohana Kudus juga anak pertama, sehingga Sjahrir memanggilnya One Rohana (kakak). Kini di rumah Rohana Kudus tinggal Adi Zulhadi, cucu Ratna, adik Rohana Kudus. Di dalam rumah yang sebagian besar masih bangunan asli itu, di ruangan tamu ada tiga foto Sutan Sjahrir yang tergantung di dinding, salah satunya foto Sutan Sjahrir di depan rumah Rohana Kudus saat sudah menjadi perdana menteri dan berkunjung ke Koto Gadang.

"Menurut cerita nenek saya, Sjahrir sering diajak ayahnya ke rumah ini, karena di sini banyak saudara perempuannya," kata Adi Zulhadi. Adi mengatakan, neneknya bercerita, saat Sjahrir datang tatkala sudah menjadi perdana menteri, rumah sangat ramai. "Rohana dan Sjahrir, katanya, sering berdiskusi tentang perkembangan politik," tutur Adi.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129712.id.html#


Antara Tuschinski dan Stadsschouwburg

SUASANA kampus di kawasan Oudemanhuispoort alias Old Man's House, tepat di jantung Amsterdam, Belanda, pada sore dua pekan lalu itu begitu tenang. Para mahasiswa, yang baru selesai mengikuti kuliah, bergerombol di depan pintu masuk gedung yang berarsitektur klasik itu.

Menempati sebuah gedung bersejarah yang berdiri sejak 1602, Fakultas Hukum Universitas Amsterdam dikelilingi kanal-kanal dan jalan-jalan kecil berbatu. Fakultas ini merupakan impian mahasiswa dari seantero negeri, bahkan luar negeri, yang ingin mempelajari ilmu hukum. Tak aneh bila fakultas ini memiliki jumlah mahasiswa dan pengajar terbanyak dibanding fakultas lain.

Fakultas ini memiliki fasilitas lengkap. Perpustakaannya, misalnya, menyimpan jutaan buku. Suasana belajar juga sangat nyaman. Di sepanjang lorong-lorong gedung fakultas terdapat beberapa kios yang menjual buku-buku bekas berharga miring. Buku murah itu jelas amat membantu mahasiswa yang berkantong cekak.

Suasana asri kampus semacam ini, 80 tahun silam, tetap tak bisa membuat seorang pemuda berkulit cokelat, Sjahrir, betah berdiam di situ. Sejak kedatangannya ke Negeri Kincir Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus. Dunia luar, pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa, lebih menarik perhatiannya ketimbang kegiatan belajar dan diskusi di dalam ruang kuliah.

Pada usia yang baru menginjak 20 tahun, Sjahrir memang sudah mengecap kehidupan yang relatif modern saat bersekolah di Algemene Middelbare School di Bandung. Namun Amsterdam, kota di Benua Eropa itu, jelas lebih kosmopolitan ketimbang Bandung. Pergaulan antarmanusia di sana juga egaliter ketimbang di Hindia Belanda.

Amsterdam memang memikat pemuda Sjahrir. Maka, ketimbang mengikuti kuliah dan mengunjungi perpustakaan kampus, Sjahrir lebih sering ngelencer mendatangi pusat budaya atau tempat-tempat berkumpul mahasiswa. Salah satu lokasi yang sering ia kunjungi adalah bioskop alias Cinema Tuschinski di kawasan Rembrandtplein.

Gedung bioskop ini dibangun dengan gaya campur aduk antara Art Deco, Art Nouveau, dan aliran arsitektur Amsterdam yang sedang jadi tren pada awal 1900-an. Sampai kini gedung itu masih berfungsi sebagai bioskop komersial dan sering menjadi lokasi utama festival film, misalnya International Documentary Film Amsterdam.

Selain menyukai film, Sjahrir muda menggemari teater. Dan hanya satu blok dari Cinema Tuschinski terdapat gedung teater tua yang terkenal: Stadsschouwburg. Gedung teater ini terletak di daerah ramai Leidseplein, salah satu pusat kehidupan malam di Amsterdam. Di tempat ini Sjahrir sering menonton pertunjukan, baik sendiri maupun bersama teman.

Dari Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Stadsschouwburg bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 20 menit. Bila naik sepeda, hanya makan waktu 10 menit. Kini di depan teater itu setiap dua menit lewat trem.

Gedung Stadsschouwburg sejatinya sudah berkali-kali runtuh dan berulang kali pula dibangun kembali sejak akhir abad ke-15. Bangunan yang kini berdiri terakhir kali "ditegakkan" pada 1894. Arsiteknya saat itu, Jan L. Springer, memilih membangun kembali dengan gaya ala Baroque Revival.

Sampai saat ini, Stadsschouwburg masih mementaskan sejumlah pertunjukan teater, pameran foto, pameran lukisan, dan beragam kegiatan budaya lainnya. Seiring perkembangan zaman, sarana transportasi untuk mengunjungi gedung teater itu semakin mudah.

Sejak pertama kali dibangun, teater ini menjadi tempat favorit masyarakat umum dan pelajar untuk kongko-kongko. Ini lantaran program budaya yang mereka tawarkan selalu memikat. Apalagi di sekitar gedung tersebut juga banyak tempat menarik.

Di bagian kiri gedung, misalnya, terdapat Jalan Marnixstraat, yang di seberangnya ada Hotel American, yang terkenal dengan bar dan kafenya. Di bar itulah Sjahrir dan teman-temannya biasa berkumpul. Cafe Americain, yang dibangun pada 1900 dengan gaya Art Deco, merupakan tempat berkumpul mahasiswa dari kalangan borjuis dan berduit. Kafe ini bukan kedai murah.

Masih di kawasan Leidseplein, terdapat jalan-jalan kecil yang juga dipenuhi kafe. Di salah satu jalan kecil, Lange Leidse Dwaarstraat, dulu terdapat Sociaal Democratische Studenten Club. Perkumpulan yang pernah diketuai sahabat Sjahrir, Salomon Tas, itu kini sudah tak ada. Namun suasana di sekitar tempat itu sampai kini masih terasa dinamis. Banyak anak muda menghabiskan waktu di antara kafe-kafe di sepanjang jalan tersebut.

Saat pertama kali datang, Sjahrir menumpang di flat yang disewa keluarga kakaknya, Siti Sjahrizad alias Nuning Djoehana, di kawasan Amsterdam Selatan. Daerah itu dulu dihuni masyarakat kelas menengah yang makmur. Kini tempat itu sudah berubah, banyak berdiri gedung pencakar langit. Setelah keluarga Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di rumah kecil milik keluarga Salomon Tas, masih di kawasan yang sama.

Mengikuti teman-temannya, Sjahrir kemudian pindah kuliah ke Leiden, satu jam perjalanan kereta dari Amsterdam. Leiden merupakan kota ilmu yang terpandang. Sjahrir mendaftar ke Leiden School of Indology, tempat sejumlah intelektual Belanda ternama, seperti Ch. Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven, dan G.A.J. Hazeu, mengajar.

Pergaulan luas Sjahrir dengan kalangan cendekiawan dan aktivis politik di Leiden meninggalkan bekas sampai sekarang. Namanya ditahbiskan sebagai nama jalan-kendati jalan kecil: Sjahrirstraat. Jalan ini melengkapi jalan-jalan lain untuk mengenang sejumlah tokoh dunia, seperti Ghandistraat, Martin Luther Kingpad, Salvador Allendeplein, dan Camilo Torresplein.

Sjahrirstraat, yang terletak di pinggiran Kota Leiden, merupakan area pembangunan permukiman baru untuk kalangan pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah. Sayang, ketika Tempo bertandang ke kawasan itu dua pekan lalu, tak ada seorang pun yang mengenali bekas Perdana Menteri Indonesia ini. "Tapi saya tahu dia pasti orang terkenal juga, karena nama-nama di jalan ini adalah nama-nama orang terkenal," kata seorang warga yang kebetulan lewat.

Sarmadji, warga Belanda asal Indonesia yang sudah lama menetap di Leiden, punya penilaian terhadap Sjahrir. "Dia hanya bergaul dengan kalangan intelektual kelas atas. Jadi dia agak berjarak dengan kalangan bawah, walaupun dia berusaha untuk mengatasi itu."

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129713.id.html

Berkembang di Iklim Barat

AKHIR musim panas 1929. Seorang pemuda berkulit cokelat menginjakkan kaki di Amsterdam. Baru datang dari Hindia Belanda, Sutan Sjahrir, pemuda itu, segera terpikat oleh suasana masyarakat Belanda yang begitu hidup, seakan tak pernah beristirahat. "Tak ada yang melebihi keheranan saya ketika tiba di Belanda," tulisnya dalam Renungan Indonesia. "Bulan-bulan pertama selalu terkenang."

Dia pun mereguk sepuas hati kebebasan di negeri itu. Di sana, garis pemisah antara warga negeri penjajah dan penduduk wilayah jajahannya tak terlihat sama sekali. Sjahrir tak hanya berteman dengan sesama mahasiswa asal Indonesia. Pada bulan-bulan pertama di Belanda, dia menulis surat kepada Salomon Tas, Ketua Amsterdam Sociaal Democratische Studenten Club. Perkumpulan mahasiswa sosial demokrat Amsterdam itu berafiliasi dengan Partai Sosialis Demokrat Belanda (SDAP). Sjahrir ingin mengenal perkumpulan itu lebih dalam.

"Begitu menerima surat itu saya langsung melompat ke atas sepeda, pergi mengunjungi Sjahrir," tulis Salomon Tas dalam Souvenirs of Sjahrir. Rumah Tas tak jauh dari flat keluarga Nuning Djoehana di Amsterdam Selatan-tempat Sjahrir menumpang. Kedua pemuda itu cepat bersahabat. Sjahrir bergabung dengan perkumpulan yang dipimpin pemuda keturunan Yahudi itu.

Bersama Tas, istrinya Maria Duchateau, Judith, teman Maria, dan Jos Riekerk, Sjahrir kerap berdiskusi soal politik dan mengupas pemikiran para filsuf sosialis. Dia tekun melahap tulisan Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik de Man, dan tentu saja Marx dan Engels.

Di saat lain, mereka menonton film dan teater, atau sekadar bercengkerama di bar dan kafe. Ada pula acara piknik yang disebut "Akhir Pekan Kaum Sosialis", yang diselenggarakan jurnal De Socialist. Anak muda dari berbagai ras pergi berwisata ke Amersfoort, Arnhem, Assen, atau Kijkduin di tepi laut.

Pergaulan Sjahrir pun berputar kian cepat. Tas mengaku sempat kehilangan kontak beberapa lama. Belakangan, setelah berjumpa kembali, Sjahrir bercerita kepada Tas, dalam pencarian akan perkawanan radikal, dia bergaul dengan kaum anarkis kiri. Mereka menjaga diri untuk terbebas dari sistem kapitalisme dengan menghindar dari pekerjaan yang mencari untung. "Mereka bertahan hidup dengan berbagi apa pun, termasuk alat kontrasepsi, tapi tidak termasuk sikat gigi," tulis Tas.

Namun Sjahrir tak lama bergaul dengan kelompok itu. Dia melepaskan diri tanpa kekurangan suatu apa pun. Setelah keluarga Nuning Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di rumah keluarga Tas. Kiriman uang dari ayahnya telah berhenti. Maka Sjahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor Internasional. Dia bisa mendapat uang saku dan bisa mengenal kehidupan kaum buruh lebih dekat.

Apa yang dilakukan Sjahrir, menurut Tas, melebihi kebanyakan mahasiswa Indonesia di Belanda. "Paling-paling mereka membaca buku tentang organisasi, tapi tak seorang pun pernah hidup di dalamnya seperti Sjahrir," ujarnya.

Kesibukan berdiskusi dan berorganisasi tak ayal membuat kuliahnya terbengkalai. Konon, karena soal itu pula, Hatta mendorongnya pulang ke Tanah Air pada 1931. "Memang ada spekulasi, selain untuk memimpin PNI Pendidikan, Hatta menyuruh Sjahrir pulang karena khawatir melihat pergaulannya yang tak teratur," ujar sejarawan Rushdy Hoesein.

Muhammad Akbar Djoehana, akrab dipanggil Aki Djoehana, membantah spekulasi itu. Dia putra Nuning Djoehana, kini berusia 84 tahun, dan menetap di Mouvaux, Lille, Prancis. Menurut Aki, Hatta meminta Sjahrir kembali ke Tanah Air karena kuliahnya sendiri belum selesai. "Sjahrir setuju pulang untuk sementara," ujar Muhammad Akbar. "Setelah Hatta menyelesaikan studi, Sjahrir akan kembali ke Belanda untuk menyelesaikan kuliahnya," dia menambahkan.

Sejarah mencatat, Sjahrir tak pernah kembali ke Belanda. Berbagai sebab membuatnya senantiasa tertahan di Indonesia. Betapapun, tulis Tas, "Kepribadian Sjahrir telah berkembang dalam iklim Barat."

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129714.id.html


Misi Rahasia dari De Socialist

KEPULANGAN Sjahrir ke Tanah Air pada pertengahan November 1931 terasa mendadak. Kepada rekan-rekannya di klub mahasiswa sosial demokrat di Belanda, De Socialist, pemuda 22 tahun itu hanya bilang hendak pergi ke "suatu wilayah berbahaya".

Sjahrir rupanya telah sepa-kat mengalah kepada Muhammad Hatta, ketika itu 29 tahun, senior di Perhimpunan Indonesia dan teman diskusinya di De Socialist. Meski belum menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, ia akan pulang. Hatta, yang sudah sembilan tahun di Belanda, berniat menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Rotterdam lebih dulu.

Menurut Rosihan Anwar, 87 tahun, wartawan dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia, situasi Perhimpunan Indonesia tak lagi kondusif ketika itu. Pada Maret 1931, kelompok Abdoelmadjid dan Rustam Effendy yang berhaluan komunis kian mendominasi perhimpunan. Mereka telah mendepak Hatta dari tampuk pimpinan. Sjahrir, sekretaris perhimpunan, membela Hatta dan keluar dari organisasi bersama seniornya itu.

Keadaan genting juga berlangsung di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda menangkap Soekarno dan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia. Bagi Hatta dan Sjahrir, penangkapan ini bakal menyurutkan semangat kaum pergerakan. "Bagi keduanya, ini sinyal bahwa keadaan di Tanah Air menghadapi masalah serius," kata Rosihan.

Lebih-lebih setelah mendengar PNI justru dibubarkan oleh aktivisnya sendiri, yang kemudian membentuk Partai Indonesia atau Partindo. Gerakan nasionalisme kultural Partindo dinilai terlalu lemah dan mengecewakan kaum nasionalis. Mereka berharap ada tokoh yang lebih berani.

Hatta dan Sjahrir saat itu sudah menjadi tokoh di kalangan nasionalis. Tulisan-tulisan mereka dari Negeri Belanda tentang "pentingnya pendidikan menuju kemerdekaan" berpengaruh besar terhadap kaum pergerakan. Terpengaruh tulisan ini, sekelompok mahasiswa dan pemuda membentuk klub studi di Bandung dan Jakarta pada Maret-April 1931.

Abdoel Karim Pringgodigdo, teman Hatta yang lebih dulu kembali dari Belanda, juga teman-teman Sjahrir semasa sekolah menengah di Bandung, bergabung dengan kelompok studi ini. Menamakan diri "golongan merdeka", mereka menerbitkan jurnal Daulat Rakyat. Misi jurnal ini adalah "pendidikan rakyat".

"Nama merdeka diambil karena mereka di luar kelompok mana pun. Mereka juga menegaskan tujuan memerdekakan bangsanya," kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maroeto Nitimihardjo, salah satu pendiri kelompok itu.

"Golongan merdeka" mengadakan kongres di Yogyakarta pada Februari 1932. Mereka kemudian mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia dengan ketua Sukemi. Partai ini kemudian dikenal sebagai PNI Baru atau PNI Pendidikan. Begitu tiba di Tanah Air, Sjahrir langsung bergabung dengan partai baru ini.

Dalam kongres di Bandung pada Juni 1932, Sjahrir ditunjuk menjadi ketua dan Sukemi wakilnya. Beberapa bulan kemudian Hatta kembali ke Indonesia dan segera mengambil alih kepemimpinan, dengan Sjahrir sebagai wakilnya. "Agar efektif, pusat kegiatan lalu dipindahkan Hatta ke Jakarta," kata Hadidjojo.

Gerakan politik Hatta dan Sjahrir melalui PNI Baru justru lebih radikal daripada PNI Soekarno, yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, organisasi ini mendidik kader-kader pergerakan. Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, Hatta dan Sjahrir memang mengambil alih PNI Baru ini hanya agar pergerakan nasional terus berlanjut.

Pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin partai ini. Mereka dibuang ke Boven Digul, Papua.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129716.id.html


Berbagi Peran dari Bawah Tanah

JACQUES de Kadt yang sedang santai di rumahnya terperangah. Seorang lelaki Indonesia berpakaian Barat masuk ke pekarangannya. Ketika itu Jepang baru tiba. Tak ada lagi sahabat dan kenalan Indonesianya yang mau mendekat, takut dikira Jepang kaki-tangan Belanda. Siapa lelaki ini?

Di beranda, lelaki itu memperkenalkan diri: Sjahrir. De Kadt segera ingat, ini mahasiswa Indonesia di Belanda, yang sepuluh tahun lalu sering berdiskusi dengannya soal politik. De Kadt adalah politikus Belanda yang "terjebak" di Bandung selama Perang Dunia II.

Sjahrir menemuinya karena mendengar De Kadt mengorganisasi gerakan bawah tanah anti-Jepang. Anggotanya pemuda Belanda dan Indo-Belanda. Sjahrir membutuhkannya untuk memperluas jejaring perlawanan terhadap penjajah dari Negeri Matahari Terbit itu.

De Kadt orang kesekian yang ditemui Sjahrir, setelah ia, bersama Mohammad Hatta, pulang dari pengasingan di Banda Neira, Maluku, awal Februari 1942. Mula-mula ia bertemu dengan Sastra, teman lama di Bandung saat masih aktif di Pendidikan Nasional Indonesia.

Meski Sastra komunis, keduanya berkawan dekat. Mereka berpisah pada 1934, setelah Pendidikan Nasional Indonesia dibubarkan polisi, dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digul, Papua. Sastra menemui Sjahrir setelah mendengar kabar kawannya itu kembali ke Jawa dan tinggal bersama Hatta di kompleks polisi Sukabumi.

Nekat ia menyusup ke sana. Di rumah Sjahrir, ia tinggal sehari semalam. Bertiga mereka membuat rencana. Hatta akan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang untuk melindungi teman-temannya yang berjuang melawan Jepang. Sjahrir, yang enggan membantu Jepang, memimpin gerakan bawah tanah.

"Kalau Bung Hatta ditanyai tentang Sjahrir, dia bilang Sjahrir terganggu pikirannya dan agak sinting," demikian Sastra bercerita dalam buku Mengenang Sjahrir, yang disunting Rosihan Anwar.

Di Sukabumi, Sjahrir juga sempat ditemui Amir Sjarifoeddin, yang waktu itu bekerja di Departemen Ekonomi pemerintahan kolonial Belanda. Seperti ditulis dalam buku Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, karya Rudolf Mrazek, Amir ditemani pengacara Soejitno Mangoenkoesoemo, adik Tjipto Mangoenkoesoemo. Amir menemui Sjahrir dan Hatta karena mendengar tentara Jepang akan segera menduduki Jawa.

Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Beb Vuyk, penulis Belanda dan teman Sjahrir yang dikutip Mrazek, bercerita serah-terima kekuasaan dari Belanda ke Jepang di kompleks polisi Sukabumi berjalan sangat cepat. Seusai serah-terima, komisaris Belanda di sana berkata, "Di sini juga terdapat dua pemimpin nasionalis, bagaimana dengan mereka?" Tentara Jepang menjawab, "Biarkan mereka pergi."

Tapi Sjahrir dan Hatta tetap tinggal di kompleks polisi itu. Dari sana, mereka melakukan perjalanan ke berbagai kota, termasuk menemui De Kadt di Bandung. Ini tindakan berani. Soalnya, Jepang tak segan memenggal orang yang dikira bersekongkol dengan Belanda.

Sjahrir bercerita dalam bukunya, Out of Exile, pertemuan dengan De Kadt menghasilkan program menyatukan gerakan perlawanan kelompok-kelompok prokemerdekaan. Program ini dia sampaikan kepada teman-temannya di daerah. Antara lain melalui Sastra, yang rajin mengunjunginya di Sukabumi.

Setelah Hatta mendapat perintah pergi ke Batavia, Sjahrir dan anak-anak angkatnya-Lily, Mimi, dan Ali-meninggalkan kota itu. Sejak itu, Sjahrir hidup nomaden di Jawa: pernah tinggal di Semarang, Bandung, lalu Cipanas, Bogor, sebelum kembali ke Jakarta.

Sambil berkelana, Sjahrir kembali berhubungan dengan kawan-kawan lamanya dan para kader Pendidikan Nasional Indonesia. Dengan Rusni di Priangan, Soedarsono, Sugra, dan Sukanda di Cirebon, Wiyono dan Sugiono Yosodiningrat di Yogyakarta, dan Djohan Sjahruzah di Surabaya. Melalui Soejitno, ia berhubungan dengan cendekiawan muda seperti T.B. Simatupang, Ali Budiardjo, dan Halim.

Jaringannya di Kedurus, Surabaya, yang dipimpin Sudjono dan Johan Sjahruzah, berhasil menguasai ladang minyak. Di masa kolonial, sumur minyak itu dikelola Shell Belanda. Jaringan eks anggota Pendidikan juga membangun Koperasi Rakyat Indonesia di Jawa Barat, dengan tujuan terselubung mempersiapkan rakyat menyambut kemerdekaan. Di Bandung, koperasi ini disingkat Korindo, di Cirebon disebut KRI.

Pindah ke Jakarta, Sjahrir dan anak-anaknya tinggal di paviliun rumah Hatta di Jalan Oranje Boulevard-sekarang Jalan Diponegoro. Dari situ mereka pindah ke Jalan Tegal, Jalan Dambrink, yang kini menjadi Latuharhari, lalu Jalan Jawa 61-sekarang HOS Cokroaminoto.

Pada Juli 1942, atas permintaan Soekarno, yang baru kembali dari pembuangan di Sumatera, Sjahrir, Hatta, dan Soekarno melakukan rapat di rumah Hatta. Asmara Hadi, orang kepercayaan Soekarno, ikut dalam pertemuan itu.

Des Alwi, anak angkat Sjahrir yang datang dari Banda Neira beberapa bulan setelah Sjahrir tiba di Jakarta, disuruh Hatta berjaga di pintu. "Om Hatta tak ingin ada orang lain masuk," Des bercerita. Malam itu ketiganya sepakat: Soekarno bersama Hatta akan bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir tetap menyusun perlawanan di bawah tanah.

Peran itu membuat Sjahrir tak punya pendapatan tetap yang cukup. Agar tahan susah, anak-anaknya diajari hidup sederhana. Untunglah selalu ada teman yang membantu. Sastra, yang kebetulan punya tambak ikan di Garut, misalnya, jika datang selalu membawa beras dan ikan kering.

Ketika Des masuk sekolah radio, Institut Voor Electro Vak Onderwijs, uang sekolah yang sebulannya delapan gulden dibayar Hatta. Kebetulan Lily segera mendapat pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga besar Sjahrir.

Sebagai motor gerakan bawah tanah, Sjahrir rajin menggelar diskusi. Selain di rumahnya sendiri, menurut Des Alwi, Sjahrir sering berdiskusi di daerah Manggarai, Jakarta. Peserta tetapnya antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Mr Soejitno, Ali Budiardjo, dokter Soedarsono, Zainal Abidin, Hamdani, dan dokter Toha.

Jika tidak di Manggarai, diskusi digelar di Sindanglaya, Cipanas. Ini rumah Halim, salah satu kerabat Sjahrir. Ikut dalam lingkaran diskusi Sjahrir: mahasiswa kedokteran seperti Soedjatmoko, Abu Bakar Lubis, Subianto, dan Suroto Kunto.

Untuk mengetahui perkembangan perang Jepang melawan Sekutu, Sjahrir mengandalkan siaran radio, termasuk dari BBC. Ia punya radio yang disembunyikan di dalam lemari. Agar tak kentara, radio itu sudah dibuka rangkanya dan disembunyikan di balik kain batik. "Jika Sjahrir bilang, 'Des, butuh batik,' kami sudah tahu maksudnya," tutur Des.

Pada suatu hari, karena mendapat radio baru, Sjahrir membawa radio lamanya ke Cipanas untuk disimpan Halim. Ketika dia kembali ke Cipanas untuk mengambil radio itu beberapa bulan kemudian, ternyata sudah rusak. Rupanya Halim, yang takut ketahuan Jepang, mengubur barang itu di dalam tanah. "Oom sangat kecewa karena radio itu sangat berjasa," tulis Lily dalam buku Mengenang Sjahrir.

Ketika Sjahrir mendengar dari radionya Jepang hampir kalah, dia ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Tapi Soekarno memilih menunggu lampu hijau dari Jepang. Sjahrir jengkel. Maka, pada Juli 1944, ketika mendengar Tan Malaka ada di Bayah, Banten, menyamar sebagai Ibrahim, dia segera mencari Tan. Sjahrir meminta Tan Malaka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi tokoh komunis itu juga menolak.

Pada 14 Agustus 1945, Sjahrir mendengar dari BBC, Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu. Buru-buru dia menemui Bung Karno, memintanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat itu juga. Lagi-lagi Soekarno menolak. Ini membuat Sjahrir kecewa. Dia lalu meminta dokter Soedarsono memproklamasikan kemerdekaan di alun-alun Kejaksan, Cirebon. Maka, di Cirebon, Indonesia merdeka lebih dulu dua hari dari Jakarta.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129717.id.html


Kader Hingga Ujung Usia

PINTU rumah itu selalu terbuka. Setiap hari ada saja tamu yang datang, kebanyakan petani. Apih Safari, 76 tahun, pemilik rumah di belakang Pasar Hewan, Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat itu setia mendengarkan keluhan mereka. Ketika Tempo berkunjung ke sana dua pekan lalu, lima petani sedang mengadukan sengketa lahan garapan mereka.

Di Sumedang, Apih dikenal sebagai orang tua yang memperjuangkan nasib buruh tani. Ia menjadikan rumahnya markas buat petani yang mendapat perlakuan tak adil. Pensiunan guru bahasa Inggris ini mendirikan Forum Kerakyatan Indonesia serta Serikat Tani Kerakyatan Sumedang, 17 tahun lalu.

Perhatian Apih terhadap kaum kecil muncul ketika remaja. Ketika itu ia banyak bergaul dengan aktivis senior seperti Omo Darmawiredja, ketua cabang Partai Sosialis Indonesia Sumedang. Ia juga berinteraksi dengan Roesni Tjoetjoen, teman sekelas Sjahrir di Algemene Middelbare School-setingkat sekolah menengah atas-di Bandung.

Apih berasal dari keluarga pegawai kereta api yang menyekolahkannya hingga menengah atas. Ia menikah dengan Ana Karmini, anak buruh tani di Sumedang, pada 1952. "Saya melihat mertua saya sering mendapat perlakuan tak adil," ujarnya.

Apih memutuskan menjadi anggota PSI pimpinan Sjahrir beberapa bulan setelah menikah. Waktu itu di Sumedang PSI hanya punya 12 anggota. Ia melewati masa penggojlokan untuk mendapatkan kartu anggota. Menurut dia, proses itu dilakukan untuk menghilangkan sikap feodalis, egois, dan menjadikan anggota lebih merakyat serta mampu memimpin rapat. Apih dipercaya memegang Gerakan Tani Indonesia Sumedang. "Tokoh sosialis harus pandai memimpin massa," katanya.

Menurut dia, calon anggota partai dididik dengan sistem sel sehingga aktivis di satu daerah kerap tidak mengenal aktivis daerah lain. Menurut dia, sistem itu dipilih untuk menyiapkan kader agar siap melakukan gerakan bawah tanah. Kader juga wajib membaca harian Pedoman dan majalah Siasat.

Masuk PSI pada 1952, Apih baru bisa bertatap muka dengan Sjahrir dua tahun kemudian. Ketika itu ada ceramah di Gedung Kesenian di Jalan Naripan, Bandung. Sjahrir berpidato tentang situasi politik serta persiapan menghadapi Pemilu 1955.

Usai pidato, Sjahrir dikerubung sejumlah kadernya, termasuk Apih. Tiga jam mereka beradu argumen. Mereka mencecar keputusan Sjahrir mundur dari kabinet hingga pilihan menjadi PSI sebagai partai kader. Sjahrir lalu menjawab bahwa partai itu tidak perlu banyak anggota. "Sedikit saja jumlahnya, asal paham, militan, menguasai keadaan, serta memahami teori-teori perjuangan," kata Apih menirukan Sjahrir.

Di Sumedang, hanya ada 25 orang yang memegang kartu anggota PSI. Tapi ketika rapat umum pada 1955, alun-alun disesaki pengunjung. Sjahrir berpidato. Setelah itu, ia memanggil belasan pemuda, termasuk Apih, untuk berdiskusi di rumah Omo.

Dua kali bertemu dan berdiskusi, Apih menilai Sjahrir sebagai orang cerdas, cepat menangkap pikiran lawan bicara, teliti, hati-hati, demokratis, dan senang dikritik. "Sjahrir juga sulit ditebak," kata Apih.

Kembali dari Belanda akhir Desember 1931, Sjahrir lalu menjalin hubungan dengan teman lamanya di AMS Bandung. Di antaranya Soewarni, Soewarsih, Sastra, Bondan, T.A. Moerad, Hamdani, dan Inoe Perbatasari. Di Batavia, ia menjalin kontak dengan Djohan Sjahroezah, keponakannya yang belakangan menjadi sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia.

l l l

SJAHRIR memimpin Pendidikan Nasional Indonesia pada 1932. Ia mulai membangun kader bawah tanah di sejumlah wilayah seperti Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, dan Cirebon. Ali Boediardjo-kader yang kemudian menjadi sekretaris pribadinya-mengatakan Sjahrir banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Jawa dengan misi politik.

Sjahrir, misalnya, bisa saja mendadak muncul dan mengatakan baru dari Cirebon, Semarang, atau Surabaya dengan membawa pengalaman lucu. Menurut dia, Sjahrir cukup rinci bercerita tentang pertemuan dengan tokoh politik. ''Tapi tidak sedikit pun ia bercerita tentang hal yang mereka bicarakan,'' kata Ali suatu ketika.

Ucu Aditya Gana, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia yang sedang meneliti pemikiran Sjahrir, mengatakan Pendidikan Nasional Indonesia tidak pernah menjadi organisasi besar. Jumlah anggotanya tidak lebih dari seribu orang. Bandingkan dengan Partai Indonesia atau Partindo pimpinan Soekarno, yang anggotanya mencapai 20 ribu orang.

Ucu mengatakan sebagian orang yang direkrut Sjahrir pada masa pendudukan Jepang dan masa berikutnya merupakan anggota elite intelektual. Mereka memperoleh pendidikan dasar dan menengah Belanda dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Indonesia. Kelompok terpelajar itu kebanyakan dari kalangan berpengaruh dan kaya. �'Sjahrir lebih menekankan pada gerakan kader ketimbang massa,'' katanya.

Pola pengkaderan berlangsung hingga Sjahrir kemudian mendirikan PSI pada 1948. Dalam kongres pertama pada 1952, PSI hanya memiliki 3.049 anggota tetap dan 14.480 calon anggota. Bandingkan dengan Masyumi yang mengklaim memiliki enam juta anggota. Partai Komunis Indonesia yang banyak dilumpuhkan dalam peristiwa Madiun pada 1948 memiliki anggota sekitar 100 ribu.

Ketika kongres kedua pada Juni 1955, anggota PSI bertambah menjadi 50 ribu orang. Tetapi PKI waktu itu mengklaim memiliki anggota 10 kali lebih banyak. Adapun Partai Nasional Indonesia mengaku mempunyai anggota beberapa juta orang.

Dalam pemilihan 1955, PSI hanya meraih lima kursi. John D. Legge, dalam bukunya Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, mengatakan kegiatan politik massa bukan satu-satunya tolok ukur keberhasilan partai. Pemikiran PSI bertahan hingga sekarang. "Fakta bahwa partai ini mewakili aliran moral dan politik di Indonesia," kata Legge.

Di Cirebon gerakan pemuda sosialis bertahan dan berinteraksi dengan generasi sebelumnya. Sukardi, 72 tahun, aktivis sosialis, masih menjalin komunikasi dan berdiskusi dengan pemuda seperti Mondi Suherman. Meski ada perbedaan usia yang mencolok, keduanya saling memanggil "bung". "Walaupun PSI dibubarkan, di antara kader dan simpatisan ternyata tidak pernah putus tali silaturahmi," kata Sukardi.

Rahman Tolleng, aktivis sosialis, pernah melakukan kunjungan ke Karangnunggal, Tasikmalaya. Rupanya, Sjahrir pernah datang ke daerah pesisir selatan ini. "Di beberapa rumah gambar Sjahrir masih terpampang meski yang masih hidup tinggal anak cucu para kader," kata Tolleng.

Satu di antara kader Sjahrir kini menghuni sebuah rumah mungil di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Sang kader, Koeswari, 83 tahun, memajang lukisan cat air yang bergambar Sjahrir sedang berpose menghadap ke samping. Ia tak pernah memindahkan lukisan itu sejak dipasang hampir setengah abad lalu.

Koeswari adalah kader generasi pertama Partai Sosialis Indonesia yang didirikan Sjahrir pada 1948. Ia masuk Dewan Pimpinan Partai yang dipimpin Sjahrir hasil Kongres 1955 bersama 50 orang lainnya. "Mereka semua sudah meninggal," katanya dengan mata berkaca. Ia lalu menatap lukisan Sjahrir itu. Tepat di sisinya ada foto Koeswari bersama dua aktivis partai pada sekitar 1950.

Koeswari dulu buruh perkebunan kopi dan sawit di Dampit, Malang, Jawa Timur. Tidak pernah merasakan pendidikan formal, ia belajar membaca dan menulis secara otodidak. Ia banyak bergaul dengan aktivis pemuda yang bergiat dalam pendidikan. Dari sini Koeswari mulai berkenalan dan berdiskusi dengan tokoh sosialis.

Pada usia 20, Koeswari bergabung dengan Partai Sosialis di Malang. Waktu itu kelompok Sjahrir masih bergabung dengan Amir Sjarifoeddin. Koeswari meninggalkan pekerjaannya sebagai buruh dan konsentrasi penuh di partai. Ia memilih kelompok Sjahrir ketika partai pecah pada 1948. Tanpa mengusung bendera partai, Koeswari aktif memperjuangkan nasib buruh perkebunan.

Menurut dia, Sjahrir pernah beberapa kali singgah di Malang. Tapi Koeswari belum pernah bertemu langsung dengan sang tokoh. Ia baru bertemu ketika ditarik ke Jakarta pada Juli 1953, untuk menangani buruh di Perusahaan Jawatan Kereta Api. Begitu ketemu, keduanya berdiskusi tentang gerakan sosialis di markas Partai Sosialis Indonesia, Jalan Medan Merdeka Barat. "Orangnya sangat ramah," Koeswari mengenang.

Koeswari juga sering berdiskusi di kediaman Sjahrir. Misalnya pada 1955 setelah pemilu, Sjahrir dan anggota inti PSI berdiskusi mengenai gerakan buruh. Menurut Koeswari, Sjahrir selalu mengingatkan supaya tetap semangat dalam memperjuangkan nasib buruh. Semangat itu tetap dipegang Apih dan Koeswari hingga kini, di ujung usia mereka.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129718.id.html#



Proklamasi tanpa Bung Kecil

JALAN Maluku 19, Menteng, Jakarta, dua hari sebelum proklamasi. Soebadio Sastrosatomo, kala itu 26 tahun, bertamu ke rumah Sjahrir. Badio, begitu Soebadio biasa disapa, adalah pengikut Sjahrir yang setia. Kelak keduanya bersama-sama mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Siang terik. Badio haus luar biasa. Sjahrir menawari anak muda itu minum, tapi Badio menolak. Itu hari di bulan Ramadan: Badio sedang puasa.

Ada yang tak biasa pada Sjahrir hari itu: rautnya sumpek. Sebelumnya, si Bung baru saja bertemu dengan Soekarno, yang mengajaknya bermobil keliling Jakarta. Di jalan, Soekarno mengatakan tak secuil pun ada isyarat Jepang akan menyerah. Soekarno ingin membantah informasi yang dibawa Sjahrir sebelumnya bahwa Jepang telah takluk kepada Sekutu.

Sjahrir mengatakan ini sebelum Soekarno-Hatta berangkat ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi, Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara. Sjahrir berkesimpulan tak ada gunanya berunding dengan Jepang. Pada 6 Agustus 1945, Jepang toh telah luluh-lantak oleh bom atom Sekutu.

Mengetahui Bung Karno tak mempercayainya, Sjahrir berang. Ia menantang Soekarno dengan mengatakan siap mengantar Bung Besar itu ke kantor Kenpeitai, polisi rahasia Jepang, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, untuk mengecek kebenaran informasi yang ia berikan. Sjahrir mengambil risiko: di kantor intel itu ia bisa saja ditangkap.

Tapi Soekarno menolak. Ia yakin Jepang belum menyerah. Itulah yang membuat Sjahrir marah meski ia tak menyampaikannya secara terbuka kepada Bung Karno.

Kepada Badiolah murka itu dilampiaskan. "Sjahrir mengumpat Soekarno man wijf, pengecut dan banci," kata Badio dalam Perjuangan Revolusi (1987). Menurut Badio, itulah marah paling hebat Sjahrir sepanjang persahabatan mereka.

Soekarno tahu Sjahrir sering memakinya. Dalam biografi karya Cindy Adams, Soekarno mengatakan Sjahrir menyalakan api para pemuda. "Dia tertawa mengejekku diam-diam, tak pernah di hadapanku. Soekarno itu gila... kejepang-jepangan... Soekarno pengecut."

Sehari sebelum Badio berkunjung, 14 Agustus 1945, Sjahrir dan Hatta menemui Soekarno di rumahnya di Pegangsaan Timur 56 dan meminta Bung Karno segera mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Soekarno berjanji mengumumkan proklamasi pada 15 Agustus setelah pukul lima sore. Sjahrir segera menginstruksikan para pemuda mempercepat persiapan demonstrasi. Mahasiswa dan pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang, Domei, bergerak cepat menjalankan instruksi itu.

Tapi Sjahrir mencium gelagat Soekarno tak sepenuh hati menyiapkan proklamasi. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, badan yang bertugas menyiapkan kemerdekaan sesuai dengan permintaan Jepang, tak menunjukkan gelagat akan berhenti bekerja.

Panitia misalnya mengagendakan sidang pertama 19 Agustus 1945. Soekarno ketua dan Hatta wakil dalam panitia ini. "Ini akal-akalan Jepang," kata Sjahrir dalam Renungan dan Perjuangan. Sjahrir mengusulkan proklamasi tak menunggu Jepang. Proklamasi, kata Sjahrir, bentuk perlawanan terhadap Jepang. Inilah saatnya melancarkan aksi massa. "Aku penuh semangat. Aku yakin saatnya telah tiba. Sekarang atau tidak sama sekali," kata Sjahrir.

Pukul lima sore 15 Agustus itu, ribuan pemuda berkumpul di pinggir kota. Mereka siap masuk Jakarta segera setelah proklamasi. Begitu proklamasi disiarkan, pemuda akan langsung berdemonstrasi di Stasiun Gambir. Domei dan Gedung Kenpeitai akan direbut. Ternyata, pukul enam kurang beberapa menit, Soekarno mengabarkan belum akan mengumumkan proklamasi. Soekarno menundanya sehari lagi.

Kabar ini membuat ribuan pemuda pengikut Sjahrir marah. Sjahrir menduga polisi rahasia Jepang tahu rencana proklamasi. Para pemuda mendesak proklamasi diumumkan tanpa Soekarno-Hatta. Tapi Sjahrir tidak setuju. Ia khawatir konflik akan terjadi di antara bangsa sendiri.

Tapi kabar bahwa proklamasi batal diumumkan tak sempat dikabarkan ke Cirebon. Pemuda di Cirebon di bawah pimpinan dokter Soedarsono-ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono-hari itu juga mengumumkan proklamasi versi mereka sendiri. Mereka mengatakan tidak mungkin menyuruh pulang orang yang telah berkumpul tanpa penjelasan.

Pada 15 Agustus tengah malam, Badio menemui Sjahrir. Badio mendesak Sjahrir membujuk Soekarno dan Hatta segera mengumumkan proklamasi. Sejam kemudian, Badio menemui kembali Sjahrir. Tapi, dari Sjahrir, kabar tak enak itu didengar Badio: Dwitunggal menolak menyampaikan proklamasi meski Sjahrir telah mendesak.

Pemimpin pemuda lalu pergi. Menurut Badio, mereka bertemu di Cafe Hawaii, Jakarta. Di sini mereka memutuskan untuk menculik Soekarno. Keputusan ini juga melibatkan kelompok lain, di antaranya Pemuda Menteng 31, seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni, serta dokter Moewardi dari Barisan Pelopor.

Sekitar pukul dua dinihari, Badio datang lagi ke Sjahrir. Ia mengusulkan penculikan Soekarno. Sjahrir tak setuju. Ia menjamin, besoknya bisa memaksa Bung Besar membaca proklamasi.

Badio pergi. Tapi satu jam kemudian ia kembali, membangunkan Sjahrir, dan mengabarkan bahwa sekelompok pemuda nekat menculik Soekarno-Hatta. Sjahrir meminta, apa pun yang terjadi, di antara mereka jangan bertikai. Yang paling penting, kata Sjahrir, proklamasi harus diumumkan secepatnya. Soekarno dalam otobiografinya menyebut Sjahrir penghasut para pemuda. "Dialah yang memanas-manasi pemuda untuk melawanku dan atas kejadian pada larut malam itu," kata Soekarno.

Dalam buku Sjahrir karangan Rudolf Mrazek (1994), Sjahrir disebut-sebut sebagai orang yang menganjurkan Soekarno dibawa ke Rengasdengklok, Jawa Barat-markas garnisun pasukan Pembela Tanah Air.

Ahmad Soebardjo, yang dekat dengan Soekarno, memberi tahu pemimpin Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang Laksamana Tadashi Maeda tentang penculikan itu. Maeda memerintahkan anak buahnya, Nishijima, mencari Wikana di Asrama Indonesia Merdeka. Nishijima dan Wikana bertengkar hebat. Nishijima memaksa Wikana memberi tahu tempat Soekarno-Hatta disembunyikan. Imbalannya: Maeda dan Nishijima akan membantu proklamasi kemerdekaan. Wikana setuju.

Soebardjo, seorang Jepang, dan dua pemuda lainnya-Kunto dan Soediro-lalu menjemput Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Pukul delapan pagi, Kamis, 16 Agustus, dwitunggal itu tiba di Jakarta. Sepanjang hari hingga malam, Soekarno-Hatta dan Maeda berkunjung ke sejumlah perwira penting Jepang. Penguasa militer Jepang mengizinkan proklamasi disampaikan asalkan tak dikaitkan dengan Jepang dan tidak memancing rusuh. Soekarno, Hatta, Maeda, Soebardjo, Nishijima, dan dua orang Jepang lain menyusun teks proklamasi di ruang kerja kediaman Maeda di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta-kini Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Di pihak lain, Badio dan kelompok pemuda pengikut Sjahrir pada 16 Agustus hingga tengah malam menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Mereka juga menyiapkan naskah proklamasi versi mereka sendiri. Tapi upaya ini gagal akibat tak solid. Pagi buta 17 Agustus, sebuah delegasi yang dipimpin Soekarni menemui Sjahrir di rumah.

"Pukul tiga pagi, Soekarni memakai bot tinggi dan pedang samurai menemui saya di rumah. Ia melapor teks proklamasi menurut versi kami tidak diterima," kata Sjahrir. Soekarni juga mendesak Sjahrir ikut perundingan di rumah Maeda. "Tentu saja, tidak saya terima," kata Sjahrir.

Pukul 10 pagi, didampingi Hatta, Soekarno membacakan naskah proklamasi. Adapun Sjahrir memilih tak hadir.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129720.id.html


Cirebon Merdeka Lebih Dulu

TUGU berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon. Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.

Tak banyak warga Cirebon tahu dua tugu tersebut merupakan saksi sejarah. Di tugu itu, pada 15 Agustus 1945, dokter Soedarsono membacakan teks proklamasi. "Hanya para sesepuh yang mengingat itu sebagai tugu peringatan proklamasi 15 Agustus," tutur Mondy Sukerman, salah satu warga Cirebon yang aktif dalam Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia. Kakek Mondy, Sukanda, aktivis Partai Sosialis Indonesia, hadir saat proklamasi ini dibacakan di kota udang itu.

Saat Soedarsono membacakan teks proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi alun-alun Kejaksan. Sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Cirebon memang merupakan salah satu basis PNI Pendidikan.

Soedarsono sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Setelah siaran radio BBC pada 14 Agustus 1945 mewartakan kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan Bung Hatta untuk menandatangani teks proklamasi sebelum 15 Agustus 1945. Sjahrir khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi di Saigon. Ternyata harapannya tidak tercapai.

Ada dua versi asal-usul penyusunan teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan.

Informasi diperoleh Maroeto ketika bertemu dengan Soedarsono di Desa Parapatan, sebelah barat Palimanan, saat mengungsikan keluarganya selang satu hari sebelum teks dibacakan di Cirebon. Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks proklamasi dari Sjahrir.

"Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon," ungkap Hadidjojo dalam buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan, yang pekan-pekan ini akan diterbitkan. Sayang, jejak teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono tak berbekas. Tak ada yang memiliki dokumennya.

Kisah berseberangan diungkap Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurut Des, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya.

Penyusunan teks proklamasi ini, antara lain, melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dikerjakan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah.

Des hanya mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: "Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga."

Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul Sjahrir, Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. "Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain," kata Sjahrir seperti ditulis dalam buku Mrazek. Sjahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.

Selain mempersiapkan proklamasi, Sjahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan "virus" proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des dan sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai menjaga rapat stasiun radio tersebut.

Tapi simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu kota ke kota lain, menyampaikan pesan Sjahrir. Dan keinginan Sjahrir agar proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129721.id.html

Kudeta Sunyi Triumvirat

HARI itu, 15 Agustus 1945, Jepang akhirnya takluk kepada tentara Sekutu. Di saat-saat akhir kekuasaannya, Jepang sempat menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Maka dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia oleh Jepang. Soekarno dan Hatta menjadi ketua dan wakil ketua Panitia Persiapan.

Sjahrir tak percaya dengan janji itu. Bersama sejumlah aktivis pergerakan lainnya, seperti Adam Malik, Soekarni, Chaerul Saleh, dan Kusnaeni, ia tak ingin kemerdekaan Indonesia didapat sebagai hadiah dari Jepang. Para pemuda menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolaborator Jepang. Hanya, meski berbeda paham, Sjahrir mengakui rakyat di daerah sangat mendukung kemerdekaan dan kepemimpinan Soekarno-Hatta.

Kemerdekaan Indonesia akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Teks Proklamasi disusun sehari sebelumnya di rumah Laksamana Maeda oleh Soekarno bersama Hatta, Soebardjo, Nishijima (ajudan Maeda), dan dua orang Jepang lainnya.

Lima hari setelah kemerdekaan diumumkan, Komite Nasional Indonesia Pusat, yang beranggotakan 137 orang, dibentuk. Kelompok pemuda mendorong Sjahrir menjadi Ketua Komite. Sjahrir menolak. Ia masih menanti, sejauh mana Komite mencerminkan kehendak rakyat.

Pada bulan-bulan pertama kelahiran Republik, pemerintahan kabinet presidensial dipimpin kaum nasionalis pro-Jepang. Kondisi ini membuat Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II, setelah merobohkan Jepang, sulit mengakui keberadaan Republik Indonesia. Sekutu menganggap Indonesia masih di bawah kendali Jepang. Lemahnya kepemimpinan di pemerintahan juga telah melahirkan gerakan-gerakan bersenjata yang memanfaatkan situasi demi kepentingan masing-masing.

Pada 7 Oktober 1945, 40 anggota Komite Nasional meneken petisi untuk Presiden Soekarno. Mereka menuntut Komite menjadi badan legislatif, bukan pembantu Presiden. Selain itu, menteri kabinet harus bertanggung jawab kepada Dewan, bukan Presiden. Beredar kabar, di balik petisi itu ada Adam Malik, Soekarni, Chaerul Saleh, serta para politikus senior yang tidak puas dengan Soekarno.

Suatu hari datanglah Nyonya Sri Mangoensarkoro disertai dua pemuda dari Barisan Pelopor, Soebadio dan Soekarni. Mereka mendesak Sjahrir mau memimpin Komite. "Komite harus bersih dari Jepang dan revolusioner," kata Soekarni. Sjahrir menerima "panggilan" para pemuda.

Sikap Sjahrir ini, menurut Y.B. Mangunwijaya dalam tulisannya, "Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus", kelak sering ditafsirkan sebagai "kebimbangan". Tapi sebenarnya, "Keputusan Sjahrir itu merupakan keharusan dan keputusan yang dingin bahwa untuk menghadapi dunia internasional dibutuhkan tokoh non-Jepang murni."

Rapat Komite Nasional kedua pada 16 Oktober 1945 merupakan salah satu titik penting perjalanan politik Sjahrir. Sjahrir diangkat menjadi Ketua Komite. "Secara aklamasi," tulis Mangunwijaya.

Rapat yang dihadiri Wakil Presiden Mohammad Hatta itu-Presiden Soekarno tidak hadir-berlangsung ricuh. Saling serang terjadi antara kelompok pro dan kontra Jepang. Kendati demikian, kedua kubu sama-sama menyadari usaha membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka menghadapi rintangan berat. Belanda, yang merupakan bagian dari Sekutu, sangat ingin menjajah Indonesia lagi. Sedangkan Sekutu belum menerima kemerdekaan Indonesia. Sjahrir, yang sebelumnya sudah memprediksi sikap Sekutu itu, berpendirian, menghadapi Belanda, termasuk Sekutu, tidak bisa lagi dengan senjata, tapi harus lewat diplomasi.

Rapat juga diwarnai pandangan sejumlah tokoh bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat tak bisa dibentuk cepat. Presiden Soekarno pun, dalam berbagai tulisan, disebutkan berpendapat demikian. Dengan suara bulat, akhirnya rapat memutuskan, sebelum Majelis dan Dewan terbentuk, kekuasaan Presiden dialihkan ke Komite. "Usul ini diterima Presiden Soekarno, meski dia tidak hadir," papar Rushdy Hoesein, sejarawan Universitas Indonesia.

Sebagai landasan pengalihan kekuasaan itu, pemerintah lantas menerbitkan Maklumat Nomor X yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta. "Maklumat ini berarti Presiden menyerahkan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Komite Nasional," Rushdy melanjutkan. Presiden tak lagi berhak membuat undang-undang. Mulai saat itu juga Komite menjadi badan legislatif yang bertugas menyusun undang-undang dan garis-garis besar haluan negara. Maklumat Nomor X menandakan berakhirnya kekuasaan luar biasa Presiden dan riwayat Komite Nasional sebagai pembantu Presiden.

Dalam rapat itu juga dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang melaksanakan tugas Komite sehari-hari. Sjahrir ditunjuk sebagai Ketua Badan Pekerja, sementara Amir Sjarifoeddin menjadi wakilnya.

Pada 11 November 1945, Sjahrir diangkat sebagai formatur kabinet baru yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional, bukan Presiden Soekarno. Pada 14 November 1945, Sjahrir, yang kala itu berusia 36 tahun, diangkat sebagai perdana menteri. Dia juga menjabat menteri luar negeri dan dalam negeri sekaligus. Amir, selain sebagai wakil perdana menteri, menjadi menteri penerangan dan keamanan umum.

Pindahnya kekuasaan Presiden Soekarno ke tangan Sjahrir ini membuat sejumlah kalangan beranggapan Maklumat Nomor X tak ubahnya usaha kudeta yang halus. "Tidak berdarah dan tidak bersuara. The silent coup," begitu tulis B.M. Diah dalam bukunya, Butir-butir Padi. Diah adalah tokoh pemuda yang ketika itu berseberangan dengan Sjahrir.

Diah menilai yang dilakukan kelompok pemuda, termasuk Sjahrir, hanyalah demi kekuasaan. Menurut dia, tak ada bukti yang menunjukkan kemerdekaan Indonesia bikinan Jepang. Ketika Sjahrir mengetahui rakyat begitu menghormati dan mencintai Soekarno, "Tetap saja mereka (kelompok pemuda) berusaha memisahkan dwitunggal Soekarno-Hatta," tulis Diah.

Usaha kelompok pemuda untuk mengegolkan Sjahrir, menurut Diah, dimulai dengan menambah anggota Komite Nasional yang pro-Sjahrir. Mereka kemudian mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno agar Sjahrir ditampilkan sebagai pemimpin perjuangan untuk kemerdekaan.

Dirancang pula agar Sjahrir menjadi perdana menteri. "Padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak membenarkan pemimpin negara dijadikan perdana menteri," papar Diah. Bagi seseorang yang mengetahui arti perubahan undang-undang, kata Diah, tindakan itu bernama "coup d'etat". Rapat Komite Nasional pada 16 Oktober, menurut Diah, hanyalah rekayasa untuk menyingkirkan Soekarno-Hatta. "Halus dan kasar bukanlah soal," ujar Diah.

Memang banyak yang setuju dan tidak setuju dengan Sjahrir. Tapi sejarah memperlihatkan, begitu dia menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional, lahir Maklumat Nomor X yang memungkinkan lahirnya partai-partai politik di Indonesia. Meski dia mengorbit demikian cepat dan masa kekuasaannya singkat-sesudah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Sjahrir tak lagi memegang jabatan dalam pemerintahan-peran yang dimainkan dan dampak dari misi yang dibawanya menentukan posisi Indonesia di mata dunia. "Sjahrir mampu meyakinkan Sekutu bahwa Republik Indonesia bukan bikinan Jepang," kata Rushdy.

Sjahrir, demikian tulis Mangunwijaya, bukan pengganti, melainkan pelengkap paling tepat dan vital bagi Soekarno-Hatta. "Mereka adalah triumvirat de facto, Soekarno, Hatta, Sjahrir."

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129722.id.html


Jalan Terjal Perdana Menteri

NOVEMBER 1945. Sedan hitam bertanda X sedang melaju. Bendera merah-putih berkibar di bempernya. Tiba-tiba, saat mobil itu menyusuri Jalan Cikini Raya, Jakarta, sekelompok serdadu Belanda menghadang. Entah apa sebabnya, Kopral Ritchard mengarahkan pistolnya ke sopir sedan itu. Satu letusan menyalak, dan meleset. Pada tarikan kedua, hanya ada bunyi tek. Senjata Ritchard ternyata macet.

Geram, anggota Netherlands Indies Civil Administration (NICA) asal Ambon itu beserta kawanannya mendekat. Sang sopir, yang berperawakan pendek, keluar. Beberapa orang di mobil belakang turut serta-salah satunya Abdul Halim. Mereka meyakinkan bahwa orang yang barusan dibidik adalah Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Bukannya mereda, mereka bertambah garang. Rombongan Sjahrir diperintah menghadap tembok.

Sjahrir tetap tenang. Ia memasukkan tangan ke kantong celana untuk mengambil jam besarnya sambil menanyakan waktu saat itu ke serdadu dalam bahasa Inggris. Bukan mendapat jawaban, Sjahrir malah kena bogem keras popor pistol. Insiden ini diselesaikan pasukan Inggris yang tengah berpatroli. Sjahrir melanjutkan perjalanan ke kantor perdana menteri di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 dengan mata bengkak. "Gila si Kecil, mereka hampir membunuhnya," kata Halim, yang dikutip Rudolf Mrazek dalam bukunya, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia.

Kejadian ini langsung tersebar. Radio Republik Indonesia menyiarkan berita menggemparkan bahwa Sjahrir ditembak. Mendengar hal itu, Sjahrir buru-buru menyuruh Sekretaris Kementerian Penerangan Hamid Algadri menemui Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin untuk menghentikan siaran. "Sjahrir khawatir orang-orang Belanda yang masih berada di tahanan Jepang akan habis dibunuh oleh pemuda Republik," kata Hamid kepada Tempo, Agustus 1991.

Sjahrir takut penyerangan terhadap dirinya akan memicu aksi balasan. Jika itu terjadi, bisa mengancam citra yang tengah dibangun. Ia sedang menunjukkan kepada dunia bahwa revolusi yang terjadi adalah perjuangan bangsa beradab dan demokratis untuk lepas dari kolonialisme. Putra Padang Panjang ini ingin menangkis propaganda Belanda bahwa Indonesia hanyalah gerombolan orang brutal, pembunuh, atau perampok.

Langkah ini diambil Sjahrir sejak diserahi tampuk pemerintahan sebagai perdana menteri pada 14 November 1945. Ia mengambil garis diplomasi. Menurut dia, untuk mempertahankan kemerdekaan, yang harus dilakukan Indonesia adalah menggelar perjanjian dengan Belanda agar mengakui berdirinya Indonesia. Dalam proses ini, ia berusaha menutup semua dalih Negeri Kincir Angin itu untuk memojokkan Indonesia sebagai negeri yang tak aman sehingga perlu campur tangan asing.

Pada pertengahan Desember, ia mengeluarkan kebijakan politik militer. Semua kekuatan bersenjata, baik tentara maupun laskar, harus keluar dari Jakarta. Sjahrir mengumumkan Jakarta sebagai kota internasional. Agar program ini menarik perhatian dunia, digelarlah pameran kesenian yang dipublikasikan oleh sejumlah wartawan luar negeri.

Setelah itu, Sjahrir mulai mengenalkan Indonesia di forum-forum internasional, seperti Konferensi Asia di New Delhi pada 1946. Tak hanya itu, Sjahrir juga mencuri perhatian dengan memberikan bantuan kemanusiaan berupa sumbangan beras.

Tak semua setuju terhadap langkah Sjahrir berunding dengan bekas penjajah. Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia menolak. Kelompok penentang paling keras adalah Persatuan Perjuangan yang dimotori Tan Malaka. Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi kepada Belanda. Ia dan para pengikutnya diejek sebagai "anjing-anjing Belanda".

Menghadapi perlawanan para oposan, Sjahrir tak ambil pusing. Menurut dia, berjuang di meja perundingan punya keuntungan politis memperoleh pengakuan kekuasaan de facto. Ia jalan terus, apalagi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta berdiri di belakangnya. "Dia tidak pikirin orang-orang yang mencacinya. Dia enggak marah. Katanya, itu hak orang," kata Siti Zubaidah, sekretaris pribadi Sjahrir.

Didiamkan seperti itu, perlawanan Persatuan Perjuangan makin kencang. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, Tan Malaka beberapa kali menggelar aksi massa terbuka, seperti di Purwokerto, untuk menentang kebijakan Sjahrir. Maka, dalam suatu rapat kabinet, Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin mengungkapkan kejengkelannya. Ia mengatakan Tan tak pernah berhenti membikin kekacauan negara. "Dia mempunyai ide menangkap Tan," kata Rushdy.

Persiapan digelar. Semua gerak-gerik Persatuan Perjuangan diendus. Pada Maret 1946, garis kiri keras ini hendak mengadakan rapat akbar di Madiun. Dengan membawa surat dari Amir, sejumlah utusan berangkat ke kota itu untuk menangkap Tan Malaka. Tan sempat kabur dan menyelinap di rumah Wali Kota Madiun Soesanto Tirtoprodjo. Soesanto menyerahkan Tan dengan jaminan Tan tak akan diapa-apakan.

Walau Tan telah menjalani tahanan rumah, bukan berarti perlawanan berhenti. Mereka selalu memantau perundingan Indonesia-Belanda. Babak baru perjanjian dimulai di Linggarjati. Klimaks pertentangan terjadi pada 3 Juli 1946.

Alkisah, pada 26 Juni tahun itu, Sjahrir pergi ke Banyuwangi untuk meninjau rencana bantuan beras bagi India. Dalam perjalanan pulang, rombongan mampir ke Solo. Malam itu, 27 Juni, rencananya Sjahrir bermalam di Loji Gandung, tempat Residen Surakarta. Penjagaan sudah ketat. Namun Sjahrir lebih memilih bermalam di Javasche Bank, kini Bank Indonesia.

Tiba-tiba Komandan Batalion dari Divisi III Yogyakarta Mayor Abdul Kadir Yusuf menangkap Sjahrir. Mayor Jenderal Soedibjo dan Sumitro Djojohadikusumo, yang mendampingi Sjahrir, turut diciduk. Pendukung Tan Malaka ini juga membawa Maria Ulfah dan Siti Zubaidah. "Untungnya, dokumen-dokumen dapat saya selamatkan," kata Zubaidah mengenang peristiwa 63 tahun lalu itu.

Rusdi mengatakan pemicu gerakan ini adalah ceramah Hatta pada 26 Juni di Yogyakarta saat merayakan Isra Mikraj. Dalam pidato keagamaan itu, Hatta sempat mengatakan perundingan sudah hampir final dengan kesepakatan Indonesia secara de facto diakui sebagai negara. Namun wilayahnya hanya sebatas Jawa, Sumatera, dan Madura. Sjahrir dianggap Tan keterlaluan karena menjual negara.Mereka memutuskan penculikan.

Menurut Maroeto Nitimihardjo, Ketua Partai Rakyat, A.K. Yusuf berani bertindak sejauh itu lantaran mendapat restu dari atasannya, Komandan Divisi Mayor Jenderal Soedarsono. Jenderal ini, kata Maroeto, memerintahkan Yusuf menculik Sjahrir setelah mendapat restu dari Jenderal Besar Sudirman.

Kejadian itu membuat Soekarno marah. Soekarno kemudian memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto menangkap Mayor Jenderal Soedarsono, tapi ditolak dengan alasan tak mau melawan atasan kecuali diperintahkan Jenderal Sudirman. Maka Soekarno mengumumkan sendiri melalui radio agar Perdana Menteri dibebaskan. Sjahrir bebas setelah disekap tiga hari.

Di sela-sela usaha kudeta itu, kata Maroeto, Mohammad Yamin menyiapkan maklumat pergantian Kabinet Sjahrir II. Dengan alasan desakan kuat dari rakyat, dia mengajukan 10 nama untuk menggantikan kabinet Sjahrir, yaitu Abikusno Tjokrosujoso, Ahmad Soebardjo, Budiarto Martoatmodjo, Buntaran Martoatmodjo, Chaerul Saleh, Gatot Tarunamihardja, Mohammad Yamin, Sunario, Tan Malaka, dan Wahid Hasyim.

Petisi yang disetujui Jenderal Sudirman ini dibawa Mayor Jenderal Soedarsono ke Soekarno. Di kantor kepresidenan di Yogyakarta, Soekarno mempersilakan para tamunya menunggu di ruang sebelah. Ternyata Soekarno tak lagi menemui mereka. Sang tamu malah diborgol.

Setelah suasana tenang, Sjahrir kembali diserahi posisi perdana menteri. Penentang Perjanjian Linggarjati ternyata tak hanya dari Persatuan Perjuangan. Apalagi Sjahrir kehilangan dukungan sayap kiri dalam kabinetnya setelah Amir membelot. Ia akhirnya mundur dan menyerahkan tampuk pimpinan ke Soekarno.

Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129723.id.html


Berkawan Lewat Diplomasi Beras

TRUK-truk besar milik tentara Inggris memenuhi jalan desa di wilayah Cikampek, Jawa Barat. Saat itu, 1946, wartawan Rosihan Anwar dalam perjalanan kembali ke Jakarta setelah meliput pertempuran pasukan Republik dengan tentara Netherlands Indies Civil Administration atau NICA di Bekasi. Ia melihat berkarung-karung beras diambil dari gudang penggilingan dan masuk truk.

Belakangan baru ia ketahui truk-truk itu bergerak ke pelabuhan Cirebon-yang dikutip sejarawan Rudolf Mrazek sebagai salah satu basis massa pendukung kelompok lama Sjahrir dan Hatta, Pendidikan Nasional Indonesia. Di sana telah bersandar kapal-kapal kargo asal India yang baru mengantarkan kain. Ribuan karung beras itu kemudian mengisi lambung kapal dan berangkat ke India dalam perlindungan angkatan laut Inggris.

Inilah "diplomasi beras" ala Sjahrir yang dimulai April 1946, ketika ia membuat penawaran yang sensasional di masa itu: mengirimkan setengah juta ton beras asal Jawa ke India, yang terancam kelaparan akibat gagal panen. Dia meminta beras itu ditukar dengan tekstil dan obat-obatan untuk Republik.

Dalam ingatan Rosihan, yang bertugas menanganinya adalah kawan-kawan lama Sjahrir. Salah satunya ekonom Saroso Wirodihardjo. "Rupanya beras itu diambil antara lain dari Cikampek," kata Rosihan. Dalam buku Prime Minister Sjahrir as Statesman and Diplomat tulisan Hamid Algadri, Menteri Penerangan masa itu, disebutkan juga nama diplomat dr Soedarsono (ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono).

Yang pertama kali menerbitkan berita tentang hal itu adalah Free Press of Journal di Bombay, India: "Indonesian's Goodwill Gesture towards India, Premier Sjahrir's offer of 500,000 tons of Rice." Penulisnya P.R.S. Mani, koresponden Free Press di Jakarta. Menurut resensi Rosihan terhadap buku Mani, The Story of Indonesian Revolution 1945-1950, berita itu disiarkan di Jakarta beberapa hari kemudian, diimbuhi pesan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru kepada Sjahrir, yang memberi salam bagi rakyat Indonesia, "yang sedang berjuang dengan gagah berani untuk kemerdekaannya."

Beberapa petinggi Republik saat itu terenyak, apalagi pasca-Jepang pergi kondisi Republik masih sangat papa. Tapi Sjahrir sendiri kemudian mengulangi pesannya kepada Free Press. "Itu gambaran benar tentang situasi pangan dan kebutuhan kami akan barang-barang impor. Perkiraan paling rendah tentang panen tahun ini ialah lima juta ton, sedangkan perkiraan tertinggi tujuh juta ton."

Sjahrir mengatakan konsumsi rakyat Indonesia tak lebih dari empat juta ton. "Jikapun tidak ada surplus beras, saya pikir rakyat kami bersedia memberikan 500 ribu ton beras ditukar dengan tekstil. Saya rasa lebih dari wajar RI berbuat apa yang mungkin guna meringankan situasi pangan di India. Kami bersimpati terhadap rakyat India dan akan menyambut dengan baik terwujudnya hubungan ekonomi dan rohani antara RI dan India sebagai negara-negara merdeka."

Belanda marah bukan kepalang. Walau Belanda sepakat mengakui wilayah Republik meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura dalam Perjanjian Linggarjati, blokade ekonomi tetap berlaku. Wilayah udara dan laut Republik dijaga ketat militer Belanda. Impor atau ekspor dilarang. "Tapi Belanda mau apa? India sudah hampir merdeka waktu itu," kata Rosihan.

Nehru, yang terpukau oleh uluran tangan Sjahrir, lantas mengadakan Asians Relations Conference di New Delhi dan mengundang Sjahrir. Senewen menghadapi ini, kabinet Belanda di Den Haag menawari Sjahrir "mampir" ke Belanda. Pemimpin Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal Hubertus Van Mook, bahkan menawarkan tumpangan dengan pesawat KLM. Tapi Bung Kecil menampik. Ia memilih pesawat milik Biju Patnaik, pebisnis Bengali dan teman akrab Nehru. Nehru sendiri menyambutnya dengan hangat di bandara. Seusai konferensi, Sjahrir tak langsung pulang. Ia melawat ke Kairo, Mesir, dan berlanjut ke Suriah, Iran, Burma, dan Singapura. Makin bobollah blokade Belanda atas Republik.

Sukses diplomasi beras itu tak lepas dari strategi Sjahrir merengkuh "kawan" segera setelah perang berakhir. Hanya dua minggu setelah resmi menjadi perdana menteri (sekaligus Menteri Dalam dan Luar Negeri) pada akhir November 1945, Sjahrir menandatangani perjanjian dengan pasukan Sekutu: memulangkan serdadu Jepang dan tawanan perang. Perundingan dilakukan Wakil Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Secara teknis, seluruh operasi pemulangan berada di tangan Tentara Keamanan Rakyat, di bawah Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan Allied Prisoners of War and Internees (POPDA).

"Yang memimpin Mayor Jenderal Soedibjo, bekas perwira Koninklijk Nederlands Indische Leger, dan kemudian dilanjutkan Mayor Abdoel Kadir, eks perwira Pembela Tanah Air," tulis Mayjen TNI R.H.A. Saleh, penyusun buku Sekitar Operasi Pemulangan Tentara Jepang dan Evakuasi APWI di Pulau Jawa.

Pada paruh pertama 1946, Panitia merepatriasi lebih dari 35 ribu serdadu Jepang dan sekitar 28 ribu (versi lain menyebut 36.280 orang) tawanan perang dari kamp-kamp konsentrasi di Pulau Jawa. Lebih dari separuhnya adalah orang Eropa yang pernah tinggal di Indonesia. Sebagian kecil lainnya serdadu Australia, Amerika, dan Inggris yang terjebak ketika Jepang masuk. "Ini bukti kesuksesan Republik mengorganisasikan diri dan menghargai hukum internasional," Hamid menulis.

Buah dari repatriasi dan diplomasi beras ala Sjahrir itu, menurut Hamid, adalah ketika Sjahrir berkukuh membuka blokade ekonomi Belanda dengan mengekspor komoditas seperti karet dan kopra ke Amerika Serikat dan Inggris-dua negara yang langsung mengakui kedaulatan Indonesia pasca-Linggarjati. Kapal-kapal dari dua negeri itu datang ke pelabuhan di Indonesia. Belanda senewen karena ekspor itu bisa menggelontorkan uang segar. "Belanda mencoba menghentikan dengan membuntuti kapal-kapal itu, yang tentu saja diprotes keras," Hamid menulis.

l l l

Hubungan Sjahrir dengan dunia luar sepanjang 1945-1947 sering dikutip sebagai kesuksesan. Tapi Mrazek mengutip sejumlah arsip tua yang menyebutkan bahwa yang terjadi sebenarnya bukan tanpa cacat. Bahkan saat itu Sjahrir sering merasa tak nyaman, lelah, dingin, dan kecewa. Misalnya saat dalam beberapa laporan Sjahrir disebut-sebut sebagai "bom atom dari Asia" atau "an enfant ch�ri of the Asian conference". Saat itu sesungguhnya Sjahrir terlambat tiba di konferensi Asia di New Delhi. Ia hanya sempat menghadiri penutupan, sementara anggota delegasinya-kecuali ketua delegasi Haji Agus Salim-banyak yang tak seideologi dengannya.

Mengutip keterangan Sjahrir kepada Schermerhorn, partner rundingnya dalam Perjanjian Linggarjati, yang sama-sama sosialis, Bung Kecil sungguh kecewa melihat rumah Nehru yang bagai istana. "Dengan tiga pelayan yang lompat melayani begitu saya masuk," kata Sjahrir, mencerca karakter ningrat dan ketimuran yang sangat ia benci.

Kepada Liga Muslim di India, ia mengkritik dengan mempersamakannya dengan Masyumi, yang dianggapnya "menghalangi berkembangnya pikiran-pikiran modern". Di Kairo, Sjahrir tampak tak gaul, tak kenal siapa-siapa. Di Burma, ia mengkritik masyarakat yang terlalu didominasi kultur Buddha. Siam (Thailand) dicercanya sebagai negeri yang "lapuk dan koruptif". Bahkan Agus Salim, yang ia tunjuk untuk melobi negara-negara Timur Tengah, pernah mengeluh kepada istrinya di Yogyakarta bahwa Sjahrir bersikap "dingin": sudah tiga minggu tak membalas suratnya.

Ketika Sjahrir tiba di New York, di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai ambassador-et-large, pada Agustus 1947, kedatangannya hanya dimuat dalam beberapa baris artikel di halaman terakhir New York Times dan Herald Tribune. Dua kali berpidato di hadapan Dewan Keamanan, Sjahrir dan delegasinya meminta bantuan Amerika Serikat untuk menghadapi Belanda. Ia kecewa dengan sikap dingin tuan rumah. Dalam pertemuan dengan Soebandrio di London sesudahnya, Sjahrir mengeluh. "New York adalah suatu kekecewaan," katanya, "tak ada yang diraih di situ."

Tapi sejarah kemudian berkata lain. Penampilannya di Lake Success (markas Perserikatan Bangsa-Bangsa) itulah yang kemudian mendorong pembentukan komite khusus untuk Indonesia. Urusan Republik resmi menjadi masalah internasional. Dukungan untuk Belanda semakin lemah, apalagi setelah pemerintah Hatta sukses menekan kudeta komunis di Madiun, 1948.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129726.id.html



Linggarjati, Sebuah Jalan

VILA bergaya kolonial itu masih berdiri kukuh. Di atas lahan 2,4 hektare, bangunan bercat putih dan hijau lumut seluas 800 meter persegi itu seolah ingin merengkuh keindahan kaki Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat. Di bekas Hotel Rustoord itulah, di kawasan Linggarjati nan permai, 62 tahun lalu, digelar perundingan bersejarah antara Indonesia dan Belanda.

Sepanjang 11-14 November 1946, Sutan Sjahrir, perdana menteri berusia 37 tahun, memimpin pertarungan diplomasi tingkat tinggi. Anggotanya Mohammad Roem, Soesanto Tirtoprodjo-keduanya meester in de rechten-dan dokter Soedarsono.

Peran sejarah Sjahrir agak kurang terjelaskan bila kita mengunjungi vila yang sekarang menjadi museum Gedung Perundingan Linggarjati itu. Di dalam museum memang tersimpan berbagai memorabilia, mulai dari tanda tangan Sutan Sjahrir, foto perundingan, juga kursi dan meja sidang. Namun tak ada penjelasan bagaimana jalan perundingan, dan apa makna penting Linggarjati bagi Indonesia.

"Kami hanya tahu perundingan berjalan tertutup, sehingga tidak banyak informasi yang didapat," kata Sukardi, petugas Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kuningan, lembaga pengelola museum. "Kami sangat berhati-hati menjelaskan, karena salah sedikit sejarawan bisa datang kemari."

Di sekolah-sekolah selama ini cenderung diajarkan, Linggarjati adalah perjanjian yang menguntungkan Belanda. Hasilnya dianggap terlalu kompromistis. Linggarjati memutuskan, wilayah Indonesia secara de facto hanya Jawa dan Sumatera, dan Indonesia kemudian menjadi Republik Indonesia Serikat yang tergabung dalam Uni Indonesia Belanda.

"Linggarjati terutama dikritik oleh pengikut Tan Malaka, pengikut Bung Tomo, atau tentara, yang menuntut kemerdekaan 100 persen," kata wartawan senior Sabam Siagian. Sabam melihat, selama ini ada kesalahan menilai peran Sjahrir dalam Linggarjati.

Perundingan Linggarjati adalah hasil diplomasi berliku yang diusahakan Sjahrir. Setelah Proklamasi, situasi Indonesia sangat genting. Belanda datang kembali membonceng Sekutu. Mereka mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945.

Pejabat NICA (Netherlands Indies Civil Administration) berpikir bisa berkuasa dengan menangkap dwitunggal Soekarno-Hatta. Kedua pemimpin ini dianggap berkolaborasi dengan Jepang. NICA bermaksud mengambil alih semua departemen dari tangan Jepang.

Pertempuran besar meletus di berbagai kota, menghadang Belanda yang bersembunyi di balik Sekutu. Semarang diguncang perang lima hari, 14-19 Oktober 1945. Sehari kemudian, Jenderal Sudirman dan Tentara Keamanan Rakyat bergelimang darah menahan laju tentara Sekutu di Ambarawa.

Tak berapa lama, Surabaya membara pada 10 November. Perang hadir di depan mata, dan Indonesia terancam kalah. "Adalah Sjahrir yang bisa membalik semua keadaan itu dalam waktu cepat," kata Rushdy Hoesein, pengamat sejarah dan peneliti Linggarjati. "Dia pasang badan."

Pada 14 November 1945, sistem presidensial diubah menjadi sistem parlementer. Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri pertama. Inggris mengajak berunding. Pada 23 November, kabinet Sjahrir menjawab dengan maklumat, Indonesia tak sudi berunding selama Belanda berpendirian masih berdaulat di Indonesia.

Belanda lalu memblokade Jawa dan Madura. Tapi Sjahrir melakukan diplomasi cerdik. Meskipun dilanda kekurangan pangan, Sjahrir memberikan bantuan beras ke India pada Agustus 1946. Tindakan Sjahrir ini membuka mata dunia.

Sebelumnya, pada 1 Februari 1946, ia nyaris berhasil "memaksa" utusan Inggris, diplomat senior Sir Archibald Clark-Kerr, berbicara dengan Soekarno. Sayang, Soekarno, yang sudah berada di Yogya, menolak datang ke Jakarta.

Seperti bermain catur, sedikit demi sedikit Sjahrir terus mencoba menekan pemerintah Belanda melalui diplomasi. Ia terus-menerus mengupayakan agar Indonesia dan Belanda duduk di meja perundingan.

Kesempatan pertama datang dalam perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, 14-16 April 1946. Ketika itu Indonesia mengajukan tiga usul: pengakuan atas Republik Indonesia sebagai pengemban kekuasaan di seluruh bekas Hindia Belanda, pengakuan de facto atas Jawa dan Madura, serta kerja sama atas dasar persamaan derajat antara Indonesia dan Belanda. Usul itu ditolak Belanda.

Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus penengah konflik Indonesia-Belanda. Konsulat Inggris di Jakarta mengumumkan, selambat-lambatnya pada 30 November 1946 tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia.

Kabinet baru Belanda kemudian mengutus Schermerhorn sebagai Komisi Jenderal untuk berunding dengan Indonesia. Schermerhorn dibantu tiga anggota: Van Der Poll, De Boer, dan Letnan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook.

Perundingan itulah yang kemudian terjadi di Linggarjati. Lokasi itu diusulkan oleh Maria Ulfah Santoso (Menteri Sosial), yang dekat dengan Sjahrir. Ayah Maria pernah menjadi regent (bupati) Kuningan.

Kebetulan, Residen Cirebon, Hamdani, dan Bupati Cirebon, Makmun Sumadipradja, juga sahabat Sjahrir. Delegasi Belanda mulanya mengkhawatirkan keamanan. Namun Sjahrir berhasil meyakinkan kemampuannya mengontrol wilayah tersebut.

Sjahrir, sebagai bekas aktivis gerakan sosialis di Belanda, ternyata telah mengenal Schermerhorn, yang berasal dari Partai Buruh. Meski demikian, sebagaimana diduga, perundingan berlangsung alot. Dari 17 pasal yang dibahas, deadlock terjadi pada pasal mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat.

Pasal ini disetujui setelah Schermerhorn, tanpa diikuti Sjahrir yang kelelahan, mengunjungi Presiden Soekarno yang menginap di Kuningan. Soekarno langsung menyetujui ketika diberi tahu bahwa Negara Indonesia Serikat berdaulat di bawah Kerajaan Belanda.

Sjahrir terkejut akan sikap Soekarno, namun tak bisa menolak ketika persetujuan itu disampaikan oleh Schermerhorn. Bagi Sjahrir, itu artinya Belanda hanya mengakui Republik secara de facto.

Sjahrir kemudian memasukkan pasal tambahan tentang arbitrase. Bila ada perselisihan menyangkut perjanjian tersebut, akan diajukan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Pasal ini terbukti menjadi penyelamat ketika terjadi agresi Belanda ke wilayah Republik," kata Rusdi.

Setelah persetujuan diparaf pada 14 November 1946, kedua delegasi membawa rencana persetujuan itu ke masing-masing parlemen untuk disahkan. Republik Indonesia mengesahkan Perjanjian Linggarjati di Malang, Jawa Timur, dalam rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 25 Maret 1947.

Di Belanda, pengesahan perjanjian mendapat hujan kritik pemerintah dan parlemen. Schermerhorn tersingkir dari panggung politik. Karena tak puas dengan penyelesaian Linggarjati, pada 20 Juni 1947 Belanda melancarkan aksi militer pertama dengan menduduki kota-kota penting Republik.

Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir memimpin delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, Amerika Serikat. "Pidato Sjahrir di Dewan Keamanan ini dimungkinkan karena adanya pasal arbritase di Linggarjati itu," kata Rusdi Husein.

Inilah momen yang membuat Indonesia tampil di kancah internasional. Nama Indonesia bergema di Lake Succes. Dan jalan ke arah itu dibuka dari kaki Gunung Ciremai.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129727.id.html


Paspor Pertama Indonesia

MINARSIH Wiranatakoesoemah, 24 tahun, sedang menyusui putri pertamanya ketika menerima kabar bahwa suaminya, Soedarpo Sastrosatomo, telah berangkat ke New York, Amerika Serikat. Kabar mendadak ini membuat dia menangis. Tak ayal, buah hatinya, Shanti Soedarpo, ikut menangis.

Soedarpo menjadi bagian dari delegasi Indonesia yang mengikuti sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memprotes agresi militer Belanda. Berangkat pada pertengahan Mei 1948, asisten Sutan Sjahrir itu bertugas menangani pers asing. Dua pekan kemudian, Minarsih menerima telegram.

Suaminya meminta ia segera menyusul. Minarsih segera membuat paspor pertamanya: paspor Indonesia dan Belanda. Dokumen itu kelar pada 8 September 1948. Yang menandatangani paspor itu Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Soerjotjondro.

Paspor itu-bersampul biru, setebal 48 halaman, berlaku selama tiga tahun-buah dari diplomasi Sjahrir pada Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947. Sebelumnya, paspor untuk bepergian ke luar negeri dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Ini siasat Sjahrir. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda menempuh berbagai cara untuk mengecilkan kemerdekaan Indonesia. Nah, dengan memiliki paspor sendiri, identitas Indonesia sebagai sebuah negara merdeka semakin tegas.

Minarsih memakai paspor Indonesia itu saat pesawat milik maskapai Belanda, KLM, yang ditumpanginya transit di kota-kota Asia seperti Bangkok (Thailand), Karachi (Pakistan), dan Kairo (Mesir). Minarsih baru memakai paspor Belanda saat pesawatnya mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda, pertengahan September 1947.

Dari sini Minarsih menuju New York. Ia masih mengingat sebuah kisah menarik lain di negeri yang ia kunjungi itu. Saat tiba di Amerika, ia menyodorkan dua paspor, paspor Indonesia dan paspor Belanda. Oleh petugas imigrasi Amerika, mungkin karena bingung pada kolom negara dalam dokumen visa Amerika Serikatnya kemudian tertulis tangan dalam bahasa Inggris: "Istri dan anak perempuan petugas Pemerintah Asing yang tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat."

Lahirnya paspor pertama Indonesia adalah buah kecerdikan Sjahrir dalam diplomasi. Kepiawaiannya dalam diplomasi pun harum hingga ke mancanegara. "An Atomic Bomb of Asia" adalah julukan yang diberikan kepadanya oleh seorang diplomat India, Sarojini Naidu.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129728.id.html


09 Maret 2009
Kemenangan di Lake Success

SIDANG Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 14 Agustus 1947 di Lake Success, New York, Amerika Serikat. Seorang lelaki muda berwajah Melayu, berambut ikal, usianya 38 tahun, tingginya tidak mencapai 1,60 meter, mengurai pandangannya dengan tenang.

Dari caranya berbicara, kelihatan ia tak terpancing pernyataan provokatif Eelco R. van Kleffens, salah seorang yang mewakili kubu lawannya. Kleffens seorang pejabat senior kementerian luar negeri Belanda. Ketimbang menyusun argumentasi, Kleffens membeberkan aneka perilaku buruk kalangan "republiken". "Mana yang Anda percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami," begitu ia menutup presentasinya, seperti yang terekam dalam dokumentasi video Des Alwi.

Lelaki itu, Sutan Sjahrir, menjawab kalem, argumentasinya tak beringsut dari satu titik: Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati. "Saya yakin anggota dewan dapat menilai, apakah tuduhan Belanda tersebut benar atau salah. Namun ada satu fakta yang hendak saya tekankan: pihak Belanda tidak membantah semua fakta yang terungkap pada pernyataan terakhir saya, di mana Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati. Ketimbang membantah pernyataan saya, pihak Belanda justru mengajukan tuduhan yang tak terbukti," katanya dalam bahasa Inggris yang cukup fasih.

Ia bercerita tentang kejayaan Indonesia seribu tahun silam dalam formasi Kerajaan Majapahit, kemudian menampilkan gambaran kontras. "Namun, karena penjajahan Belanda selama tiga setengah abad, bangsa kami mengalami kemunduran total," ujarnya. Sjahrir menepis anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia pemberian Jepang, meminta bantuan PBB untuk bertindak sebagai penengah dalam konflik Indonesia-Belanda, dan meminta agar PBB mengeluarkan putusan untuk memaksa pasukan Belanda mundur dari daerah republik. Sayang, kedua permintaan itu tidak terpenuhi.

Meski begitu, menurut Charles Wolf, penulis buku The Indonesian Story: The Birth, Growth, and Structure of the Indonesian, kemenangan tetap berada di pihak republik muda itu. "Pidato Sjahrir menarik, canggih dan efisien," tulis Wolf. Itulah sebabnya, surat kabar berpengaruh di negeri Abang Sam, New York Herald Tribune, pada 15 Agustus 1947 menabalkan pidato Sjahrir sebagai "salah satu yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan".

Dari situlah dukungan dunia internasional mengalir. Bukan hanya dari para sahabat seperti India, Filipina, Australia, dan Suriah, tapi juga dari negara seperti Rusia dan Polandia. Komisi tiga negara yang beranggotakan Australia, Belgia, dan Amerika Serikat pun dibentuk sebagai mediator konflik Indonesia-Belanda. Yang terpenting, Belanda gagal menerapkan keinginannya: melakukan pendekatan unilateral melalui kekuatan bersenjata.

Kedatangan Bung Kecil dalam rapat Dewan Keamanan PBB melalui jalan terjal. Setelah agresi militer pertama Belanda pada 21 Juli 1947, kedudukan Indonesia semakin terjepit. Pasukan Belanda telah menguasai separuh Jawa. Posisi ibu kota di Yogyakarta pun terancam.

Melihat kondisi ini, Bung Karno mengeluarkan surat penunjukan duta besar keliling kepada Sjahrir. Sjahrir, yang baru saja mengundurkan diri dari posisi perdana menteri, segera bertindak. Ia menembus blokade Belanda menuju India. Nehru, sahabat lama Sjahrir, dengan antusias memberikan dukungan kepada Indonesia.

Pada 30 Juli 1947, India dan Australia resmi mengajukan surat permintaan agar kasus Indonesia dibahas dalam rapat Dewan Keamanan PBB. Meski mendapat tentangan dari Belanda dan trio kolonialis Inggris, Prancis, dan Belgia, permintaan kedua negara itu diterima melalui voting anggota dewan pada 12 Agustus 1947.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129729.id.html


09 Maret 2009
Kolaborasi Dua Pejuang Sayap Kiri

DALAM Kongres Pemuda II 1928 di Jakarta, seorang pemuda mencuri perhatian para utusan yang datang dari berbagai daerah di Nusantara. Perawakannya kecil. Usianya pun masih muda, 19 tahun. Dibanding para pemuda lain seperti Muhammad Yamin (Jong Sumatera), Soegondo Djojopoespito (Jong Java), atau Mr Sunario (utusan Kepanduan), Sutan Sjahrir, sang pemuda itu, memang kalah "populer" dan tak berperan banyak dalam kongres ini. Tapi, dalam rapat-rapat di kongres itu, Sjahrir yang mewakili Jong Indonesie (Pemuda Indonesia) diakui sangat cerdas dan ikut memperjuangkan berdirinya negara Indonesia.

Dalam kongres yang melahirkan "Sumpah Pemuda" ini, Sjahrir pertama kali bertemu dengan Amir Sjarifoeddin (Jong Batak), bendahara panitia dan wakil ketua sidang kongres. Keduanya tak saling mengenal dekat. Tapi justru dari sinilah takdir keduanya bermula. Dua puluhan tahun kemudian, ketika kemerdekaan Indonesia terwujud, Sjahrir dan Amir bekerja sama menakhodai biduk pemerintahan, yang mewarnai sejarah republik ini.

Seusai kongres pemuda itu, Sjahrir dan Amir tak pernah bertemu lagi. Sjahrir melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden di Belanda. Di Negeri Kincir Angin ini, Sjahrir mempelajari sosialis dan menjadi anggota Perhimpunan Indonesia pimpinan Mohammad Hatta. Di dalam negeri, Amir memimpin Gerakan Indonesia (Gerindo) di masa pemerintahan kolonial Belanda.

Ketika pemerintah kolonial Belanda menangkap Soekarno dan melarang PNI, Sjahrir menghentikan studinya. Dia kembali ke Tanah Air pada 1931 dan memimpin PNI Baru, bersama Hatta, yang menyusul pulang. Pemerintah kolonial Belanda menangkap Hatta dan Sjahrir dengan tuduhan akan memberontak. Keduanya dibuang ke Boven Digul pada 1934, lalu diasingkan ke Banda Neira pada 1936. Saat Jepang mulai masuk ke Indonesia pada Januari 1942, pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Hatta dan Sjahrir ke Sukabumi, Jawa Barat.

Di Sukabumi ini, Sjahrir dan Amir kembali bertautan. Menurut Rudolf Mrazek dalam bukunya berjudul Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, yang diterbitkan pada 1994, Amir mendatangi Sjahrir (juga Hatta) di Sukabumi. Orang yang memperkenalkan Amir dengan Sjahrir adalah Soejitno Mangoenkoesoemo, adik Tjipto Mangoenkoesoemo-tokoh Indische Partij dan salah satu tiga serangkai (Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto). Amir mengusulkan agar Hatta dan Sjahrir ikut ambil bagian dalam suatu skema kerja sama baru antara nasionalis Indonesia dan pemerintah kolonial Belanda. Dia juga menyebutkan suatu kemungkinan evakuasi jika tentara Jepang sampai menduduki Pulau Jawa.

Jepang akhirnya berhasil menguasai Indonesia. Selama masa pendudukan Negeri Matahari Terbit ini, Sjahrir memilih menjauhi "Saudara Tua" ini. Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis Dai Nippon (militer Jepang). Ini berbeda dengan tokoh pemuda lain seperti Soekarno dan Hatta, yang "bekerja sama" dengan Jepang. Sjahrir juga tidak terlibat dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan proklamasi kemerdekaan.

Setali tiga uang dengan Sjahrir, Amir juga melakukan gerakan perlawanan bawah tanah terhadap Jepang. Tapi aktivitas Amir terendus Kenpeitai (polisi Jepang). Pada 30 Januari 1943, Amir ditangkap, dan 29 Februari 1944 dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer Jepang di Jakarta. Tapi, berkat intervensi Soekarno dan Hatta, hukuman mati itu diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Jepang hanya berkuasa sekitar tiga setengah tahun di Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaan. Amir keluar dari penjara seiring dengan kekalahan Jepang oleh Sekutu.

Kerja sama riil Sjahrir dan Amir akhirnya terwujud tatkala keduanya memimpin Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sjahrir menjadi ketua dan Amir menjadi wakil ketua dalam lembaga yang berfungsi seperti legislatif ini. Presiden Soekarno setuju Sjahrir membentuk kabinet parlementer pada 14 November 1945. Sjahrir menjadi perdana menteri, merangkap menteri dalam dan luar negeri dalam kabinet Sjahrir I. Adapun Amir menjadi Menteri Pertahanan Rakyat.

Sejarawan Rushdy Hoesein menduga, Sjahrir dan Amir mau bekerja sama karena dilatarbelakangi cita-cita yang sama untuk menguasai pemerintahan. "Mereka melihat peluang itu," katanya kepada Tempo. Itu terbukti dari menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Komite.

Adanya Maklumat X pada 3 November 1945 yang mengatur pembentukan partai membuat kerja sama Sjahrir dan Amir semakin erat. Amir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) dan Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis. Sama-sama berhaluan sosialis, pada Desember 1945 keduanya meleburkan Parsi dan Paras menjadi Partai Sosialis, dengan Sjahrir sebagai ketua umum. "Mereka memaklumkan diri sebagai kekuatan sayap kiri yang menguasai pemerintah," kata Rusdhy.

Di mata aktivis Rahman Tolleng, pengikut junior Sjahrir, fusi Paras dan Parsi masih menjadi misteri. Alasannya, Sjahrir anti-komunis meski berhaluan sosialis kiri. Padahal Bung Kecil-julukan Sjahrir-sangat mengerti bahwa Amir sedikit condong ke komunis. "Ini masih menjadi pertanyaan buat saya," ujarnya.

Keharmonisan hubungan Sjahrir dan Amir terus berjalan dalam Kabinet Sjahrir II pada 12 Maret 1946. Perdana Menteri Sjahrir mempertahankan Amir sebagai menteri pertahanan. Tapi kabinet Sjahrir semakin krisis seiring dengan keinginan Belanda menguasai kembali Indonesia. Ketika tersiar kabar bahwa akan ada perundingan dengan Belanda yang hanya mengakui Sumatera, Jawa, dan Madura, terjadilah penculikan Sjahrir yang dilakukan sekelompok tentara anak buah Tan Malaka-mengaku memiliki testamen (wasiat) memimpin republik dari Soekarno-Hatta-seperti Brigadir Jenderal Soedarsono dan Mayor Abdul Kadir Yusuf pada 3 Juli 1946. Nasib Tan Malaka sendiri akhirnya berakhir tragis ditembak oleh tentara.

Krisis Kabinet Sjahrir-berlanjut ke Sjahrir III-semakin menjadi-jadi setelah ada perjanjian Belanda dengan Indonesia di Linggarjati, Cirebon, pada 15 November 1946. Dalam Perjanjian Linggarjarti, Belanda hanya mengakui secara de facto Sumatera, Jawa, dan Madura. Indonesia juga berubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Selain mendapat serangan dari sejumlah partai, Sjahrir juga dikritik oleh Amir. Amir konon mencela Perjanjian Linggarjati ini.

Di mata wartawan senior Rosihan Anwar, celaan Amir atas Perjanjian Linggarjati mengherankan. "Delegasinya juga ada Amir Sjarifoeddin," ujar Rosihan, yang saat perjanjian dilakukan menjadi wartawan harian Merdeka.

Toh Mosi tidak percaya akhirnya tetap menjatuhkan Sjahrir pada 2 Oktober 1946. Amir naik menjadi perdana menteri dalam Kabinet Amir Sjarifoeddin I. Seperti Sjahrir, Amir juga melakukan persetujuan Renville dengan Belanda. "Malah lebih mundur dibanding Linggarjati," kata Rahman Tolleng.

Perpecahan Sjahrir-Amir semakin kentara ketika ada Marshall Plan seusai Perang Dunia II, yang membagi Eropa menjadi blok Timur dan Barat. Uni Soviet memerintahkan blok komunis menentang kapitalis pimpinan Amerika Serikat. Rosihan Anwar dalam bukunya Perjalanan Terakhir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir, yang ditulis pada 1966, menyebutkan bahwa Amir ingin Partai Sosialis menempuh garis Marxis-Leninis-Stalinis dan meminta Indonesia memihak Moskow (Soviet). Tapi Sjahrir berpendirian, Partai Sosialis harus menempuh sosialis kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif.

Tak ayal, kongsi Sjahrir-Amir pecah. Sjahrir keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI). Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin pada Januari 1948 memperparah perseteruan aliran politik itu. Bergabungnya FDR pimpinan Amir dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso-baru datang dari Moskow-yang bermuara pada pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, telah mengakhiri keberadaan Amir untuk selamanya dari ingar-bingar panggung politik Indonesia.

Nasib Sjahrir pun tak kalah tragis. Dalam Pemilihan Umum 1955, PSI jeblok, hanya mendapat lima kursi di DPR. Setelah muncul pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), Soekarno membubarkan PSI dan menangkap Sjahrir. Si Bung Kecil pun sakit-sakitan dan akhirnya meninggal di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129731.id.html


Sang Atom dan Dua Ideologi

SAAT berbicara dalam Konferensi Hubungan Asia pada 23 Maret 1947 di New Delhi, India, Sarojini Naidu (1879-1949) mengenalkan Sutan Sjahrir sebagai "perdana menteri atom", the atomic prime minister. Ada nada kagum dalam suara perempuan-penyair itu kepada perdana menteri termuda di dunia ini. Sjahrir ketika itu baru 38 tahun.

Atom, betapa tepat julukan itu. Sjahrir yang bertubuh kecil itu memang mengguncang khazanah diplomasi, ketika negara dunia ketiga lain belum bersuara. Dia manusia Indonesia pertama yang berpidato di majelis Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, mengenalkan Indonesia dan menyerukan dihentikannya penjajahan.

Di dalam negeri, Sjahrir tak segan menyerang Soekarno-Hatta. Ia absen dalam Proklamasi 1945 karena menilai deklarasi itu rekayasa Jepang, simbol fasisme yang dia perangi seumur hidup.

Tapi para penentangnya juga memakai julukan "si atom" untuk mengkritik: Sjahrir tak pernah meledak. Sjahrir, misalnya, oleh kaum pergerakan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka dituding hanya berkhotbah. "Ia sejenis intelektual yang elitis," tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978).

Sjahrir memang bukan sejenis politikus yang mengajak kerumunan dengan suara gemuruh macam Bung Karno. Hamid Algadri, anggota Konstituante, bersaksi Sjahrir bukan orator ulung. Dalam diskusi-diskusi, tokoh Partai Sosialis Indonesia itu tak mengecam lalu memaksakan kehendak. "Itu memang ciri orang PSI, low profile," kata Rahman Tolleng, 71 tahun, aktivis-politikus simpatisan PSI.

Dalam banyak esainya, terutama dalam buku Sosialisme Indonesia Pembangunan (1982), Sjahrir menyerang pelbagai hal dengan sederet argumentasi yang meyakinkan. Ia menyerang komunisme sebagai ideologi yang mengkhianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan, seperti Stalin di Rusia, Mao Zedong di Cina, Pol Pot di Vietnam. "Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan pengisapan oleh manusia," tulisnya.

Para penentangnya mengejek Sjahrir dengan sebutan "soska" alias sosialis kanan karena keterpukauannya kepada segala yang berbau Barat: mengkritik kekolotan, tradisi, dan primordialisme. Sejak muda, tokoh kelahiran Padang Panjang pada 5 Maret 1909 itu menyatakan telah berpisah dengan adat Minang.

Rahman Tolleng menyebut ideologi Sjahrir sebagai "republikanis-sosialis". "Karena dia menekankan partisipasi rakyat," katanya. Karena itulah Sjahrir mengubah sistem presidensial menjadi parlementer agar partisipasi itu bisa maksimal. "Tapi revolusi juga menjadi pilihan jika jalan parlemen sudah tak mungkin."

Sejarah mencatat jalan parlemen dan revolusi pun tak ditempuh Sjahrir. Sal Tas, seorang sosialis Belanda dan bekas suami istri-pertama Sjahrir, menyebut sahabatnya itu simbol tragedi Indonesia. Sjahrir orang yang "gugur dan gagal": meninggal di pengasingan dan PSI terpuruk.

Dalam Pemilihan Umum 1955 PSI hanya meraih dua persen suara dan lima kursi di parlemen. Justru Partai Komunis Indonesia, yang ia kritik ideologinya, menempati posisi keempat perolehan suara. Pada akhirnya, dalam politik, yang tampil adalah mereka yang bisa membujuk dan agitatif. Rakyat lebih senang kepada Bung Karno.

Sampai hari ini, Sjahrir lebih dikenal sebagai penganjur ideologi sosial demokrat. Menurut Vedi Hadiz, pengajar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, ideologi Sjahrir adalah perpaduan antara tradisi sosial demokrat dan liberalisme.

Sosial demokrat Sjahrir, misalnya, terlihat pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan rakyat. Sedangkan liberalisme muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.

Dengan ideologi macam itu, Sjahrir tak begitu populer pada 1950-an. PSI membutuhkan suatu kelas menengah yang kukuh, suatu golongan masyarakat yang melek dan berpendidikan. Menurut Vedi, sekaranglah zaman yang cocok untuk sosialisme Sjahrir. Atom itu bisa meledak di zaman Internet ini.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129732.id.html


Akhir Sang Meteor

Gamang dalam politik massa, Partai Sosialis Indonesia gagal dalam pemilihan umum. Sjahrir pun terpinggirkan.

PEMILIHAN umum baru sehari berselang, 30 September 1955. Penghitungan suara belum lagi tuntas. Namun Sutan Sjahrir hakul yakin, Partai Sosialis Indonesia (PSI) kalah bertanding. ”Kita tidak mendapat dukungan rakyat,” katanya kepada sejumlah aktivis partai yang berkumpul di rumahnya di Jalan Jawa, Menteng, Jakarta Pusat.

Sebenarnya, sejumlah anggota partai masih berharap kabar lebih menggembirakan. ”Kami masih menunggu ada tambahan suara dari daerah,” kata Rosihan Anwar, yang ikut hadir di rumah Sjahrir. Rosihan, sekarang 86 tahun, saat itu adalah pemimpin harian umum Pedoman, salah satu media pendukung PSI. Ia juga calon wakil rakyat yang berlaga di daerah pemilihan Sumatera Selatan.

Hari-hari berikutnya, perhitungan suara selesai sudah. Benar kata Bung Kecil, ternyata partai yang ia dirikan pada 1948 ini hanya meraup 753 ribu suara dari total 38 juta pemilih, dan menempati urutan kedelapan. Jumlah suara itu hanya cukup mengantar lima kader PSI menuju Bandung, tempat wakil rakyat berkantor.

Toh, tiada nada kekecewaan dalam ucapan Sjahrir. ”Dia santai saja, bicaranya datar, tidak menunjukkan kekesalan,” kata Rosihan, yang juga tak terpilih menjadi wakil rakyat.

Dalam pesta politik pertama itu, empat partai tampil sebagai kampiun. Mereka adalah Partai Nasional Indonesia dengan 57 kursi, Majelis Syuro Muslim yang meraup 57 kursi, Nahdlatul Ulama dengan 45 kursi, dan Partai Komunis Indonesia yang mendapat 39 kursi.

Hasil pemilu ini membuat Partai Sosialis terasing dari koalisi pemerintahan yang dimotori Partai Nasional dengan patronnya Soekarno. Agaknya, gagasan sosialisme kerakyatan yang diusung Partai Sosialis ”kurang laku dijual”.

Tapi, jangan dulu kecewa. Masih ada pemilu ronde kedua, yakni pada 15 Desember 1955. Mungkin saja Partai Sosialis bisa meraih simpati lebih besar.

Ronde kedua pun digelar. Kali ini 35 peserta, partai dan perorangan, berlaga memperebutkan 514 kursi Konstituante. Ini lembaga yang dibentuk untuk menyusun konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Tapi, lagi-lagi, Partai Sosialis gagal unjuk gigi dan hanya bisa memperoleh sepuluh kursi. Empat juara dalam pemilihan sebelumnya memperoleh kursi rata-rata dua kali lipat.

Sejatinya, pertanda kekalahan Partai Sosialis sudah dirasakan sejak masa kampanye. ”Kami tidak punya sumber daya manusia yang cukup, dananya terbatas pula,” kata Rosihan.

Rosihan pun bukan kader partai. Dia merelakan namanya dicomot dan dijadikan calon anggota Dewan. ”Waktu itu koran saya, Pedoman, paling banyak dibaca di Palembang, dan kami mengira saya akan dipilih,” kata Rosihan. Apa boleh buat, perkiraan meleset. Dari daerah pemilihan Sumatera Selatan, tak ada calon Partai Sosialis yang mewakili.

Menurut Rahman Tolleng, 71 tahun, aktivis dan pengikut Sjahrir, awalnya Partai Sosialis tidak berniat mengikuti pemilihan umum. Sikap itu berubah setelah beberapa kali dilakukan pertemuan partai. Akibatnya, tanpa persiapan matang, partai ini terjun dalam kontes politik. ”Semuanya dilakukan tergesa-gesa,” kata Rahman.

Hanya dua bulan sebelum pemilihan umum, Partai Sosialis menggelar kongres kedua di Jakarta. Kongres yang di kemudian hari disebut Sjahrir, dalam sebuah artikel, sebagai ajang tamasya dan pesta bagi para peserta.

Rudolf Mrazek juga menekankan pertanda kekalahan yang tampak di masa kampanye. Penulis buku Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia ini mengatakan bahwa Partai Sosialis menghadapi dilema untuk menceburkan diri dalam politik massa. Sebagai partai kader, rapat-rapat umum gamang dilakukan. ”Terbukanya partai merupakan proses yang sangat ragu-ragu,” katanya. Sitoroes, Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia, menilai terbukanya partai hanya akan membuat partai tenggelam dalam aktivitas yang disebutnya sebagai ”politik murah” dan ”demagogi”.

Rosihan berkisah, Partai Sosialis tersapu gegap-gempita slogan partai rakyat miskin yang didengungkan Partai Komunis Indonesia. ”Partai Sosialis tak bisa mengumpulkan ribuan orang seperti yang dilakukan Komunis,” kata Rosihan. Rakyat miskin, yang menurut prediksi Sjahrir—dalam wawancara dengan George Kahin pada Desember 1954—sudah apatis dan mengalami kelesuan umum terhadap politik, ternyata berbondong-bondong memberikan suara.

Kepada Tempo, Apih Safari, 76 tahun, kader partai di Sumedang, Jawa Barat, menegaskan bahwa Sjahrir memang sengaja membatasi jumlah anggota partai. ”Partai itu tidak perlu banyak anggotanya, yang penting memahami teori perjuangan,” katanya. Di Sumedang, misalnya, Partai Sosialis Indonesia hanya memiliki 25 anggota.

Bukan Sjahrir jika tak percaya diri. Sjahrir tetap optimistis, tanpa pengerahan massa, partainya akan berhasil. Paling tidak, perolehan kursi bakal lebih banyak dibanding 14 kursi yang diduduki partai ini di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Optimisme ini pula yang membuat Sjahrir memilih tidak melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat di tingkat lokal. Walhasil, seperti kita ketahui, Partai Sosialis kalah meskipun tidak gagal total.

Dua persen suara yang diperoleh Partai Sosialis, menurut Mrazek, adalah sebuah kejutan. Betapa tidak, partai ini dianggap berpengaruh besar bagi arah pemerintahan pada paruh pertama dekade setelah kemerdekaan. Pemimpinnya pernah dua kali menjadi perdana menteri. Organisasinya, menurut klaim Sjahrir, adalah yang paling rapi pada saat itu. Namun, ”Partai Sosialis menderita kekalahan yang menghancurkan, yakni kekalahan dalam politik massa,” tulis Mrazek.

Sjahrir boleh optimistis ketika para anggota partai berkumpul di rumahnya. Tapi tulisannya di sejumlah media jelas menunjukkan kekecewaan. Dalam artikel bertajuk ”Pemilihan Umum untuk Konstituante” di harian Sikap, 5 Desember 1955, ia menulis: ”Rakyat memberikan suara bukan berdasarkan motif agung. Melainkan karena mengikuti pemimpin yang mereka hormati dalam kehidupan sehari-hari. Bukan pahlawan, bukan pemuda revolusi, melainkan kiai, guru mengaji, lurah, dan mandor.”

Meski kecewa, Sjahrir tetap menunjukkan jiwa besar. ”Gambar keadaan spiritual rakyat dan bangsa kita, keadaan dan taraf pengetahuan dan kesadaran politik sudah diberikan oleh pemilihan umum ini, dan dapat diterima untuk masa depan kita,” tulisnya. Ia percaya bahwa demokrasi akan membuat bangsa ini lebih baik. ”Para politikus dengan kekurangan pengalaman dan pengetahuan mungkin dapat membawa negara ke jalan buntu, tapi seluruh rakyat akan membantu negara menemukan jalannya.”

Bagi Sjahrir, hasil pemilihan umum jelas-jelas menjadi pintu peralihan tanggung jawab urusan negara dari kaum terpelajar dan politikus—termasuk para pendiri bangsa—kepada rakyat. Dalam artikel bertajuk ”Problem the Country Faces”, dimuat majalah Atlantic Monthly, Sjahrir menulis: ”Pemilihan umum menunjukkan kesungguhan bahwa rakyat mampu mengambil bagian—meskipun kecil—dalam tanggung jawab negara.”

Mochtar Lubis, dalam Pejuang, Pemikir, dan Peminat, mengungkapkan bahwa Pemilihan Umum 1955 merupakan akhir karier politik Sjahrir. Namanya kian pudar, terpinggirkan oleh ramainya debat konstituante dan jatuh-bangun kabinet, tenggelam dalam gemuruh slogan revolusi.

Bagai meteor, Bung Kecil muncul di pentas Republik demikian cepat di usia belia, lalu hilang sekejap. ”Kegagalan Partai Sosialis dalam pemilihan umum secara pasti menutup pintu Sjahrir untuk kembali ke kedudukan tinggi dalam pemerintahan,” kata Mochtar. Sang Meteor telah hilang di angkasa luas.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129733.id.html


Patah Arang Kawan Seiring

SUATU siang pada awal 1957. Jaksa Agung Muda Intelijen Priyatna Abdurrasyid mendatangi kediaman Sumitro Djojohadikusumo di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia membawa surat perintah penangkapan Bung Cum-demikian Sumitro, tokoh teras Partai Sosialis Indonesia, biasa dipanggil kawan-kawan dekatnya.

"Waktu itu saya memang mendapat perintah menangkap Sumitro. Ketika saya tanya apa kesalahannya, jawaban atasan saya: tangkap saja, titik," kata Priyatna kepada Tempo dalam sebuah wawancara pada Agustus 2008.

Pada 1956-1957, gerakan pemberantasan korupsi memang sedang gencar. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sampai level menteri dibongkar. Namun, kata Priyatna, belakangan Presiden Soekarno memprotes melihat hampir semua menteri yang ditangkap berasal dari Partai Nasional Indonesia. "Bung Karno sempat tanya, mana menteri dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia," kata Priyatna, yang ketika itu anggota Tim Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Agung.

Salah satu pentolan Partai Sosialis Indonesia di parlemen saat itu adalah Djoeir Moehamad. Dia mengaku masih ingat koran-koran yang berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur, terus memberitakan kasus dugaan korupsi Sumitro. "Ada desakan agar dia diajukan ke pengadilan," tulisnya dalam buku Memoar Seorang Sosialis yang terbit pada 1997.

Sumitro tentu heran dengan tudingan itu. Kepada Priyatna, dia sempat bertanya, apa kesalahannya. Priyatna tak bisa menjelaskan. "Pokoknya, perintahnya adalah tangkap, titik," katanya. Bung Cum menolak. Setelah bernegosiasi sebentar, Priyatna mengaku setuju membiarkan Sumitro "menghilang". Priyatna tak pernah menyesali perbuatannya. "Saya lakukan itu dengan keyakinan dia tidak bersalah," katanya kemudian.

Dengan restu Sjahrir, Sumitro menyeberang ke Sumatera. Di sana, dia bergabung dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta.

lll

"WAKTU itu memang ada isu bahwa Sumitro melakukan korupsi, memberikan dana kepada PSI dalam pemilihan umum," kata wartawan senior Rosihan Anwar, awal Februari lalu. "Saya kira isu itu ada benarnya, tapi jumlahnya kecil. Tidak seperti sekarang ini, besar-besar."

Minarsih Soedarpo, kawan dekat keluarga Sjahrir, mengaku masih ingat ketika Sumitro, yang tersudut oleh berbagai kabar rencana penangkapan dirinya, bergegas menemui Sjahrir. "Oleh Sjahrir, dia diminta ke Padang, Sumatera Barat, membantu mengajar di Universitas Andalas," kata Minarsih, istri tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo. Dalam diskusi dengan Tempo tiga pekan lalu, Minarsih (Mien) Soedarpo memastikan Sjahrir tak pernah mengutus Sumitro untuk bergabung dengan PRRI/Permesta.

Pada Mei 1957, Sumitro naik kereta api dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Merak, Banten. Asisten pribadinya, Priasmoro, turut mendampingi. "Dari Merak, Sumitro naik perahu bermotor ke Lampung, terus naik kereta api ke Palembang, lalu ke Padang," tulis Djoeir.

Pada Januari 1958, tersiar kabar telah terjadi pertemuan penting di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Para petinggi militer yang memberontak terhadap Jakarta, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Maluddin Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, dan Kolonel Ventje Sumual, berkumpul di sana. Sumitro Djojohadikusumo juga bergabung. Pada Februari 1958, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dideklarasikan. Sumitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran Kabinet PRRI.

Keterlibatan Sumitro dalam pemberontakan di Sumatera mengejutkan pengurus pusat Partai Sosialis Indonesia. "Sjahrir sudah menegaskan kepada Sumitro, boleh melakukan oposisi, tapi jangan bentuk pemerintah tandingan," kata tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soebadio Sastrosatomo, saat diwawancarai Rosihan Anwar pada November 1994. "Sumitro tidak menggubris ucapan Sjahrir," ujar Rosihan kepada Tempo.

Sebelum deklarasi PRRI, sejumlah petinggi Partai Sosialis Indonesia sudah berusaha mengingatkan Sumitro. Djoeir Moehamad diutus menemui Sumitro di Padang. Setelah Djoeir gagal, giliran Soedarpo Sastrosatomo yang menjumpai Bung Cum. Terakhir, kakak Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo, berbicara panjang dengan Sumitro di Singapura. Semuanya gagal menarik Sumitro dari PRRI.

"Waktu itu Sjahrir berpesan kepada Soedarpo agar menanyakan kepada Sumitro berapa kebutuhan hidup sehari-hari dia sekeluarga," kenang Mien. Tak disangka, Sumitro tersinggung ditanyai seperti itu. "Dia marah sekali," kata perempuan 72 tahun yang daya ingatnya masih kuat dan jernih ini. Sumitro balik menuding kawannya telah kehilangan semangat revolusioner. "Kita mesti bikin revolusi, kita mesti melawan Soekarno," kata Sumitro seperti diingat Soebadio.

Setelah pertengkaran itu, Sumitro dan rekan-rekannya di Partai Sosialis Indonesia putus hubungan.

Ketika diwawancarai Tempo pada 1999, Sumitro punya penjelasan berbeda 180 derajat. Dia mengaku mendapat restu Sjahrir untuk memberontak. "Dua hari sebelum ke Sumatera, saya berbicara dengan Sjahrir. Saya bilang, 'Bung, saya mau hijrah dan bergabung dengan daerah.' Sjahrir mengatakan, 'Oke, Cum. Tapi kok daerah seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Usahakan semua itu agar bisa bersatu'," kata Sumitro.

Saat itu, Sumitro terus terang mengaku sudah tak sejalan lagi dengan Partai Sosialis Indonesia. "Saya tidak mungkin kembali. Setiap kali saya masuk kabinet, saya dibilang bukan wakil PSI. Kalau gagal, mereka bilang itu kesalahan saya. Kalau berhasil, mereka bilang, 'Dia (Sumitro) orang kita.' Bagaimana itu?" kata Sumitro getir.

lll

PERJUANGAN PRRI/Permesta tak berumur panjang. Di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dan Jenderal Abdul Haris Nasution, Tentara Nasional Indonesia memukul balik pasukan pemberontak.

Mundurnya bala bantuan Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA)-yang balik kanan setelah salah satu pilotnya, Allan Pope, tertembak jatuh di Ambon pada Mei 1958-menjadi faktor penentu gagalnya PRRI/Permesta. Pasukan terakhir kaum gerilyawan ini turun gunung dan menyerah pada 1961.

Sumitro sendiri lari ke luar negeri. Bersama keluarganya, dia hidup sebagai buron selama sepuluh tahun. Demi keamanan, Sumitro tak mau tinggal di satu tempat lebih dari dua tahun. Dia berpindah-pindah dari Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, London, sampai Bangkok.

Masa pelarian itu, kata Sumitro, adalah periode paling pahit dalam hidupnya. "Bahagiakah orang yang menjadi buron, dimaki-maki, berpindah-pindah negara, tanpa paspor, uang, dan kewarganegaraan, tanpa bisa memastikan apa yang akan terjadi setelah itu?" katanya dalam wawancara 10 tahun silam itu.

Rasa pahit tak hanya dirasakan keluarga Sumitro. Pada 21 Juli 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia dipanggil menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta. Sjahrir datang, didampingi pengurus pusat partai: Djohan Sjahruzah, Soebadio Sastrosatomo, T.A. Murad, dan Djoeir Moehamad. Mereka diminta menjelaskan posisi Partai Sosialis Indonesia terkait dengan pemberontakan PRRI/Permesta.

Sepekan kemudian, Sjahrir mengirim surat jawaban ke Istana. "Sekalipun kami paham dan membenarkan perjuangan daerah, pembentukan pemerintahan pusat yang baru di samping pemerintahan yang ada kami anggap sebagai malapetaka," tulis Sjahrir, seperti dikutip Djoeir Moehamad dalam buku memoarnya, "Perpecahan bangsa pasti tidak membawa penyelesaian, bahkan sebaliknya."

Namun jawaban Sjahrir tidak bisa mengubah pendirian Soekarno. Pada 17 Agustus 1960, Presiden membubarkan Partai Sosialis Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960. Dua tahun kemudian, Sjahrir dan sejumlah tokoh Partai Sosialis Indonesia lain ditangkap. Pada April 1966, Sjahrir meninggal sebagai tahanan politik.

lll

LIMA tahun setelah tragedi pembubaran Partai Sosialis Indonesia, pecah Gerakan 30 September 1965. Rezim berganti. Naik ke kursi presiden, salah satu tindakan politik pertama Soeharto adalah merangkul kembali musuh-musuh Soekarno. Para pentolan PRRI/Permesta tidak lagi dikucilkan. Tak terkecuali Bung Cum.

Soeharto bahkan secara khusus mengutus salah satu tangan kanannya, Ali Moertopo, menjemput Sumitro di Bangkok, Thailand, pada November 1966. Enam bulan kemudian, Sumitro pulang ke Indonesia, langsung diangkat menjadi Menteri Perdagangan pertama Orde Baru.

Meski Sumitro sudah kembali ke lingkaran elite kekuasaan, perseteruan lama dengan bekas kawannya sebarisan di Partai Sosialis Indonesia terus berlanjut. "Dalam sejumlah pertemuan, meski sudah bertemu muka, Sumitro tak pernah menyapa saya," kata Rosihan. Mien Soedarpo membenarkan. Katanya, "Hubungan kami sudah patah arang."

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129734.id.html


Kerikil Para Revolusioner
Hubungan Sjahrir dengan tokoh-tokoh revolusi Indonesia tak selalu harmonis. Dengan Soekarno, yang mengangkatnya sebagai perdana menteri, ia bentrok soal cara berunding dengan Belanda. Dengan Tan Malaka, ia tak akur perihal ideologi. Dan Sudirman tersinggung karena Sjahrir menyebutnya antek Jepang.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129736.id.html


Tiga Serangkai Ahli Waris Revolusi

SUASANA rapat Pemuda Indonesia di Bandung itu tiba-tiba mencapai suhu tinggi. Soekarno diinterupsi oleh Suwarni. Ketua Putri Indonesia itu protes karena Soekarno terlalu sering mencampuradukkan bahasa Indonesia, Belanda, dan Sunda dalam ceramahnya. Ia juga gerah karena Bung Besar terlalu menggebu membanggakan Partai Nasional Indonesia-partai yang ia dirikan dan baru seumur jagung. "Bung, ini bukan tempat buat propaganda PNI," kata Suwarni ketus.

Soekarno terkejut. Ia tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Dia marah dan balas menyerang Suwarni dalam bahasa Belanda. Melihat kejadian itu, Sutan Sjahrir-pimpinan pertemuan-langsung mengetukkan palu. Dia meminta Soekarno tidak bicara melipir ke mana-mana. Pemuda 18 tahun itu bahkan minta Soekarno tidak bicara kasar kepada perempuan. Ia mengingatkan Soekarno tidak memakai bahasa Belanda. Sudah jadi ketentuan, bila perhimpunan itu bertemu, penggunaan bahasa Indonesia wajib hukumnya.

Teguran itu manjur. Setahun sebelum Sumpah Pemuda, pemakaian bahasa Indonesia memang digalakkan. Pada masa itu, banyak pemuda yang belepotan dalam berbahasa Indonesia. Bahasa ini menarik minat karena dinilai bebas dari tradisi feodal. Soekarno, yang usianya lebih tua sembilan tahun dari Sjahrir, menyadari kekeliruannya. Ketua Partai Nasional Indonesia itu minta maaf.

Kejadian pada akhir 1927 itu berbekas buat Soekarno. Dia tidak pernah lupa sosok Sjahrir. Ia sering datang ke pertemuan Pemuda Indonesia. Sebaliknya, Sjahrir sesekali mengikuti perdebatan di kelompok Soekarno. Pemuda Indonesia dan PNI, kata Soekarno, "Satu kesatuan yang tak terpisahkan."

Tapi pertalian keduanya hanya sejenak. Pada Juni 1929, Sjahrir meneruskan studi ke Belanda. Di negeri ini ia bertemu Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia. Berkat bimbingan dan dorongan Hatta, Sjahrir masuk Perhimpunan Indonesia. Hatta mendidik Sjahrir, Abdullah Sukur, dan Rusbandi. Enam bulan berselang, Sjahrir menjadi pembicara utama dalam pertemuan organisasi itu. Pada Mei 1930, Sjahrir sudah jadi orang nomor dua di perhimpunan itu.

Rudolf Mrazek, dalam bukunya Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia, melukiskan bahwa di antara Sjahrir dan Hatta terdapat kesamaan yang kuat. Lahir dari tanah Minang, mereka sama-sama menyerap pengalaman dari sistem pendidikan etis kolonial. Mereka juga sama-sama berutang budi kepada kerabat keluarga yang membantu menyekolahkan hingga ke Belanda. Itu sebabnya di antara keduanya tumbuh rasa saling pengertian yang kuat. "Sjahrir hormat sekali kepada Hatta," ucap Rosihan Anwar, wartawan senior. Sebaliknya, Hatta sayang pada Sjahrir.

Keduanya juga punya pandangan yang sama. Menurut mereka, study club yang didirikan Abdoel Karim Pringgodigdo di Jakarta dan Inoe Perbatasari di Bandung harus mengutamakan pendidikan rakyat. Gerakan perlawanan setelah Soekarno ditangkap ini menamai dirinya "golongan merdeka".

Hatta menyarankan "golongan merdeka" menerbitkan jurnal, yang memiliki misi untuk pendidikan rakyat. Pendidikan, kata Sjahrir, harus menjadi tugas utama pemimpin politik. Keduanya sama-sama ingin berkecimpung dalam pendidikan sepulangnya dari Belanda. Akhir Agustus 1931, "golongan merdeka" dari berbagai kota melebur menjadi Pendidikan Nasional Indonesia.

Namun keterlibatan mereka dengan politik Tanah Air menuai kritik. Mahasiswa Indonesia yang dekat dengan Partai Komunis Belanda menuduh Hatta bertindak di luar ketentuan Perhimpunan. Dalam pertemuan pada November 1931, Hatta dipecat dari organisasi itu. Sjahrir satu-satunya yang menentang keputusan tersebut. Ia pun meninggalkan perhimpunan.

Keduanya lalu berencana pulang ke Tanah Air. Tapi Hatta harus merampungkan sisa studinya. Akhirnya disepakati, Sjahrir pulang lebih dulu pada November 1931. Bila sudah rampung, Hatta menyusul ke Indonesia, Sjahrir kembali ke Belanda melanjutkan kuliahnya. Nyatanya, Sjahrir tidak pernah balik lagi ke Belanda.

Keduanya sibuk memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Mereka ditangkap polisi Belanda pada Februari 1935. Sembilan bulan kemudian dibuang ke Boven Digul. Pada 1936 dikirim ke Banda Naira, dan kembali ke Jawa pada Januari 1942 sebelum Jepang datang.

Enam bulan kemudian, Sjahrir dan Hatta bertemu Soekarno yang baru pulang dari pengasingan di Palembang. Hari itu juga ketiganya rapat di rumah Hatta. Mereka sepakat: Soekarno-Hatta bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir bersama Persatuan Mahasiswa di Jakarta menyusun perlawanan bawah tanah.

Hubungan ketiganya terus berlanjut. Sjahrir, sesudah proklamasi, menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Soekarno setuju Sjahrir membentuk kabinet parlementer. Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, Sjahrir seminggu sekali naik kereta api menemui Soekarno-Hatta. "Langkah demi langkah dia laporkan ke Soekarno-Hatta," kata Rosihan. Soekarno bahkan melindungi Sjahrir saat kabinet pertama hendak digulingkan oleh Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Hubungan baik itu, kata dia, berlanjut hingga perundingan Linggarjati. Kepemimpinan Sjahrir bertahan hingga tiga kabinet.

Setelah itu ia menjadi penasihat istimewa presiden. Saat Belanda melancarkan aksi militer kedua pada Desember 1948, Soekarno-bersama Agus Salim dan Sjahrir-diasingkan ke Brastagi dan Prapat, Sumatera Utara. Sedangkan Hatta, bersama Menteri Pendidikan Ali Sastroamidjojo dan Sekretaris Negara A.K. Pringgodigdo ditahan di Pulau Bangka.

Nah, di Prapat inilah, kata Rosihan, Sjahrir merasa kesepian. Sekali waktu Soekarno mandi dan melantunkan lagu One Day When We Were Young cukup keras. Sjahrir merasa terganggu. Dia berteriak, "Hous je mond (tutup mulutmu)." Soekarno bilang ke Agus Salim, "Siapa dia, marah-marah dan berani bentak. Saya ini kepala negara". Sjahrir juga pernah mengkritik Soekarno yang meminta kemeja Arrow kepada pengawal Belanda. "Kamu kan presiden, jaga gengsi dong," kata Sjahrir. Soekarno jengkel.

Hubungan keduanya kian renggang setelah Perdana Menteri Belanda Willem Drees datang ke Jakarta, awal 1949. Dress minta berunding dengan Sjahrir sebagai sesama orang sosialis. Sjahrir memenuhinya. Tetapi pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa. "Sjahrir menolak mengikuti permintaan Belanda," kata Rosihan. Tetapi Sjahrir tidak kembali ke Prapat karena diizinkan menetap di Jakarta. Soekarno marah. Ia menganggap Sjahrir mengkhianati perjuangan. "Kenapa dia tak kembali ke sini? Kalau begitu dia tak setia," ujarnya.

Cerita itu didapat Rosihan dari Mohammad Roem. Roem mendapat cerita itu dari Agus Salim, katanya. Rosihan pernah menanyakan percekcokan itu kepada Soekarno pada awal 1951. Saat itu mereka tengah melihat rumah di Prapat tempat Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim ditahan. "Betulkah ada ruzie (percekcokan), bung?" Soekarno tidak menjawab.

Puncak keretakan Sjahrir-Soekarno terjadi awal 1962, saat iring-iringan Presiden di Makassar dilempar bom. Sjahrir ditangkap atas peristiwa itu. Menurut A.H. Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas, Soekarno otak di balik penahanan itu. Surat dikeluarkan Soekarno sebagai Penguasa Perang Tertinggi. Surat itu diteken Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Nasution sebagai Menteri Pertahanan.

Tapi, kata Nasution, saat surat diteken, nama Sjahrir belum muncul. "Saya hanya diminta menandatangani blangko kosong," katanya. Nama-nama tersangka akan ditulis setelah pemeriksaan. Nyatanya, setelah surat diteken, Sjahrir ditangkap di rumahnya pukul empat pagi, 16 Januari 1962.

Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, seorang wartawan bernama Manopo pernah menemui Nasution. Manopo berpesan agar Soekarno waspada bila bepergian ke Makassar karena Sjahrir dan Mohammad Roem akan membunuhnya. Nasution tidak percaya laporan itu. "Kamu ngomong begini bisa ditangkap," Nasution menggertak. Tapi laporan itu, kata Des, sampai ke tangan Soekarno lewat orang-orang komunis. Soekarno percaya.

Hatta pernah mengirim surat kepada Soekarno mempertanyakan penahanan itu. Ia mengkritik hukuman penjara yang gaya kolonial. Tuduhan keterlibatan Sjahrir dalam perbuatan teror itu, kata Hatta, tidak masuk akal. Tapi surat itu tidak digubris. "Bung Karno sudah paranoid," kata Rosihan.

Sejak itu kondisi fisik Sjahrir merosot. Soekarno akhirnya mengizinkannya berobat ke Zurich, Swiss, pertengahan 1965. Ia wafat 9 April 1966. Menurut Des, gelar pahlawan nasional sudah disiapkan satu bulan sebelumnya. Hatta lalu mengatur pemakaman. Ia juga yang berpidato. "Saya tahu Hatta sedih betul," kata Rosihan.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129737.id.html


Sosok Penyendiri dalam Tahanan

JIKA tembok itu bisa berkata, dia akan berkisah tentang seseorang yang pernah terkurung di baliknya. Tembok kukuh itu menjulang setinggi enam meter, membentengi bangunan tua tak terawat di Jalan Ahmad Yani 9, Madiun, Jawa Timur. Cat putihnya luntur termakan umur dan sebagian dindingnya bopeng dipenuhi lubang. Empat gardu pos pantau yang terpacak di setiap sudut menjadi ciri bangunan itu bekas rumah tahanan. Di sinilah, 47 tahun silam, Sutan Sjahrir dipenjarakan selama delapan bulan karena dituding berniat menggulingkan kekuasaan Soekarno.

Tidak mudah menemukan rumah tahanan Sjahrir ini. Di samping jalannya sudah berubah nama-dulu Jalan Wilis-masyarakat di sekitarnya tidak tahu bahwa Sjahrir pernah ditahan di tempat ini. Sejak 1980, rumah tahanan Detasemen Polisi Militer Madiun ini sudah tidak berfungsi. Masyarakat memberikan cap angker kepada tempat seluas 3.800 meter persegi ini.

Pintu jati bercat hijau setinggi tiga meter beratap genting lapuk di bagian depan merupakan satu-satunya akses masuk. Penjara ini memiliki enam blok, cukup untuk menampung 400 tahanan. Adalah Admin, purnawirawan TNI, yang diberi tugas menempati bangunan ini bersama istri dan kedua anaknya sejak 1991. Admin mengaku tak sanggup mengurus semua blok. "Tetapi saya sudah menganggap ini rumah sendiri, begitu juga dengan hantu-hantunya."

Dia menyulap bekas ruang administrasi dan kesehatan menjadi ruang keluarga. Bekas kantor kepala tahanan diubah menjadi garasi motor. Beberapa ruang juga dipakai sebagai kandang ayam. Blok B tampak tak terlalu kumuh. Persis di samping blok ini terdapat kamar tahanan khusus wanita.

Admin tak tahu persis keseharian Sjahrir karena saat itu dia belum bertugas. Menurut Kasboel Hadi Pranoto, 89 tahun-yang bertugas menjadi sipir penjara saat Sjahrir ditahan-di blok B inilah Sjahrir bersama Prawoto, Anak Agung, Subadio, Sultan Hamid, dan Mohammad Roem ditahan. Blok berbentuk L ini memiliki 13 kamar . Ada lima kamar yang cukup untuk menampung dua tahanan, dan delapan kamar lain, yang luasnya lebih besar, cukup untuk 15 tahanan. Sjahrir menjalani masa penahanan di salah satu kamar besar ini.

Sewaktu Tempo melongok ke blok itu, kamar-kamarnya sangat kotor. Setiap ruangan penuh sarang laba-laba. Atap kamar sudah berantakan. Jeruji jendela, lubang angin, dan pintu sel sudah berkarat. Halaman di depan penuh rumput liar setinggi dada. Di salah satu bagian dinding terpampang coretan "Sembahyanglah kamu sebelum disembahyangkan".

Sjahrir ditahan di sini sejak pertengahan Maret 1962. Sebelum ke Madiun, Sjahrir ditahan di salah satu rumah di Jalan Daha, Kebayoran, Jakarta, selama tiga bulan. Akibat menderita tekanan darah tinggi, Sjahrir sempat dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta. Itulah sebabnya, Sjahrir bertahan di Madiun hingga 18 November 1962.

Menurut Kasboel Pranoto, selama di penjara, Sjahrir terkenal pendiam. Hal ini juga dibenarkan oleh teman Sjahrir sesama tahanan Madiun, Mohammad Roem, seperti diutarakan Rosihan Anwar kepada Tempo. Menurut Kasboel, Sjahrir dan kawan-kawannya diperlakukan sangat manusiawi dan selalu bebas berolahraga di luar tahanan. Makanan dan kesehatan pun terjamin. Roem juga mengakui hal ini. Namun, kata Roem, Sjahrir tidak pernah bergabung untuk main badminton setiap hari di jalan depan sel mereka. Sjahrir juga absen main bridge atau scrabble setiap malam. "Tetapi, ketika kami diberi kesempatan main tenis dan berenang di luar penjara, Sjahrir ikut," kata Roem.

Rosihan, yang mengunjungi Sjahrir pada Oktober 1962, menjumpai Sjahrir dalam keadaan baik, hanya mengeluh tidak bisa mengikuti perkembangan di luar penjara lebih lengkap. Anak kedua Sjahrir, Upik, yang pernah berkunjung ke Madiun, menuturkan ayahnya lebih senang membaca dan menulis di kamar. Sjahrir juga rajin mendengarkan radio. "Papa tidak pernah marah apalagi dendam. Memang pembawaannya begitu," kata Upik.

Menurut Roem kepada Rosihan, secara umum hari-hari di Madiun berjalan begitu sedap. Kasboel juga membenarkan hal itu. "Tidak pernah ada intimidasi dan penyiksaan," katanya. Ketika Sjahrir ditahan di Jalan Daha, ia juga menerima perlakuan yang sama. Bersama Roem dan Prawoto, dia ditahan di sebuah rumah yang memiliki kolam renang. Keluarga tidak pernah diberi kesempatan mengunjungi tempat ini. "Tempatnya dirahasiakan," kata Rosihan.

Sayangnya, tidak ada jejak tentang rumah itu. Saat Tempo menyusuri Jalan Daha, setiap sudut jalan penuh sesak oleh rumah baru yang mewah. Warga sekitar kawasan itu mengaku tidak tahu soal rumah ini, termasuk ketua RW Soemarsono, yang sudah 35 tahun tinggal di jalan tersebut. Kedua anak Sjahrir, anak angkat Sjahrir Des Alwi, dan Rosihan Anwar juga mengaku kurang banyak mengetahui soal rumah ini. Namun keempatnya mengungkapkan hal yang sama soal kondisi Sjahrir saat ditahan di Jalan Daha. "Sjahrir mulai merasakan siksaan batin karena terpisah dari keluarganya. Ia jauh lebih menderita dibanding ketika dibuang Belanda, karena saat itu Sjahrir bujangan."

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129738.id.html


Perseteruan Para Kolaborator

RAUT wajah Jenderal Sudirman menegang ketika membaca pamflet Perdjuangan Kita, sekitar November 1945. Pamflet itu merupakan program politik Sutan Sjahrir lima hari sebelum menjadi perdana menteri. Sjahrir menegaskan kemerdekaan penuh bisa diraih lewat diplomasi. Cara yang akan ditempuhnya pertama-tama "menyingkirkan semua kolaborator Jepang".

Sudirman marah karena Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang dipimpinnya tak lain bentukan Jepang. "Pernyataan itu kurang bijak dan menyinggung perasaan kalangan PETA," katanya kepada Adam Malik seperti tertuang dalam buku Mengabdi Republik (1978). "Jika diplomasi itu memecah persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijakan sendiri."

Sejak itu perseteruan Sudirman-Sjahrir tak terelakkan. Sudirman kemudian bergabung dengan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan, kelompok yang menampung 141 wakil organisasi politik, tentara, dan pemuda radikal. Keduanya menjadi penentang paling keras politik diplomasi Sjahrir. Mereka mendesak Presiden Soekarno memecatnya.

Sudirman menganggap Sjahrir mengkhianati cita-cita proklamasi karena diplomasinya menyodorkan opsi pengakuan kemerdekaan kepada Jawa dan Madura saja, juga pembentukan Republik Indonesia Serikat. Menurut Sudirman, mestinya Sjahrir mendesak Belanda, Inggris, dan Sekutu mengakui kedaulatan seluruh wilayah Indonesia, setelah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik.

Oposisi itu mengeras karena Soekarno-Hatta ternyata lebih condong kepada jalan Sjahrir. Orang Persatuan Perjuangan bahkan menuding Soekarno mengendalikan politik Sjahrir dari jauh.

Di tengah situasi panas itu, Muhammad Yamin yang merapat ke kubu Persatuan menemui Bung Karno di Istana Negara. Pertemuan yang ditafsirkan upaya makar itu kian menggolakkan suhu politik. Sjahrir mendadak meletakkan jabatan perdana menteri. Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menangkap 12 pemimpin Persatuan. Bung Karno menyatakan keadaan darurat perang.

Tentara yang pro-Persatuan membalas penangkapan itu dengan menculik Sjahrir yang sedang berkunjung ke Solo pada 27 Juni 1946. Dengan kembali memimpin pemerintahan, Soekarno meminta Sjahrir dibebaskan. Untuk sementara perseteruan mereda sampai Soekarno kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri, 2 Oktober 1946.

Perseteruan antarpemimpin sipil itu kian terbuka. Para pemuda Persatuan bahkan baku tembak dengan tentara ketika mencegat mobil yang ditumpangi Amir Sjarifoeddin.

Sjahrir, sementara itu, tetap melanjutkan diplomasi dengan menggelar Perundingan Linggarjati, Renville, hingga Konferensi Meja Bundar. Para penentangnya menuding perjanjian itu gagal dan memberi Sekutu peluang lebih lama bercokol di Indonesia. Sementara oleh pendukungnya, Sjahrir dianggap sukses karena soal pendudukan ini tetap menjadi isu internasional.

Rosihan Anwar, misalnya, menilai Sudirman terlalu terpengaruh gerakan radikal pendukung Tan Malaka, yang menginginkan konfrontasi. Menurut Rosihan, wartawan harian Pedoman dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia, Sjahrir bukan tak sadar pertikaian di dalam itu melemahkan program politiknya sendiri.

Suatu kali, November 1946, Sjahrir meminta Sudirman yang sedang bergerilya di hutan-hutan Yogyakarta datang ke Jakarta. Sjahrir menawarkan gencatan senjata dengan Sekutu. Di luar dugaan, Sudirman mau dengan ajakan itu. "Tapi dia cuma sampai Cirebon," kata Rosihan, kini 87 tahun, tiga pekan lalu. "Dia takut ditangkap tentara Sekutu."

Sjahrir kembali meyakinkan bahwa Sudirman adalah pemimpin yang dihormati sehingga tak mungkin ditangkap. Kali ini bujukan itu dipenuhi Sudirman. Ia keluar dari hutan dan menemui Sjahrir di Istana.

Dengan gaya flamboyannya, Sjahrir menyambut jenderal besar yang paru kirinya sudah mati itu dengan upacara megah. "Saya lihat dia kagum dengan cara Sjahrir memperlakukannya," kata Rosihan. Setelah pertemuan itu Sudirman melunak dan tak lagi menyangka Sjahrir bersekongkol dengan Sekutu.

Menjelang meninggal, Januari 1950, Sudirman mengatakan kepada Sultan Hamengku Buwono IX, yang menjenguknya saat sakit, bahwa Sjahrir adalah pemimpin besar yang pantas memimpin Republik. "Saya dengar cerita ini dari Sultan sekitar Februari 1950," kata Rosihan.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129739.id.html


Jalan Bersimpang Setelah Proklamasi

SEBENARNYA begitu banyak kemiripan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Keduanya berdarah Minang, mengecap pendidikan Belanda, dan menolak kerja sama dengan Jepang.

Ketika proklamasi dibacakan, Sjahrir dan Tan tak unjuk diri. Sjahrir memilih berada di tepi, hanya mengamati. Tan sedang di Banten dan baru mengetahui proklamasi setelah mengunjungi rumah Achmad Soebardjo, yang sudah dikenalnya sejak 1920-an. Tapi keduanya kemudian mendapat surat wasiat dari Soekarno. Presiden Soekarno menunjuk empat orang sebagai penggantinya bila dia ditangkap Belanda atau mati: Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, dan Wongsonegoro.

Oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sjahrir dan Tan juga sempat ditawari posisi menteri di kabinet pertama, namun keduanya menolak. Penolakan ini membuat pendukung dan lawan politiknya tak habis pikir.

"Kami terus mendorongnya bertindak," ujar Subadio Sastrosatomo, salah satu pengikut Sjahrir. Pemuda yang kurang sabar dengan sikap Sjahrir, seperti Adam Malik, bahkan menuduh dia, "Sengaja menjauhkan diri dari kesibukan membangun dasar-dasar Republik Indonesia."

Kendati banyak kesamaan, sedari mula bertemu, Sjahrir sudah menunjukkan tanda-tanda bakal bersimpang jalan dengan Tan. Mereka bertemu pertama kali di Bogor sekitar satu setengah bulan setelah proklamasi. Saat itu Sjahrir sudah menjabat Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat.

Dalam pertemuan itu, menurut George McT Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), Tan mengajak Sjahrir menggusur Soekarno-Hatta. Sjahrir mengelak halus. Dia mengatakan, "Kalau saja Engku punya popularitas sepuluh persen saja dari Soekarno, saya akan mempertimbangkan Engku sebagai presiden." Sjahrir memang sudah berkeliling Jawa dan menemukan betapa kuatnya pengaruh Soekarno.

Dalam pertemuan kedua di Serang, Banten, sekitar dua minggu kemudian, Tan mengusulkan berbagi peran dengan Sjahrir. "Saya akan berkeliling Jawa dan daerah lain. Dan Anda, kawan Sjahrir, akan memperkuat barisan di ibu kota Jakarta," kata Tan. Tapi Sjahrir tak menanggapi. "Malam itu, tak sepatah kata pun diucapkannya," ujar Tan.

Sejak itu keduanya berpisah jalan. Sjahrir, yang kemudian menjadi perdana menteri, melihat pengakuan kedaulatan dari negara lain itu penting, sehingga jalur diplomasi termasuk dengan Belanda perlu dibuka. Bagi Tan, pengakuan kemerdekaan, "Bukanlah syarat eksistensi Republik Indonesia." Dus, berunding dengan Belanda tak ada perlunya.

Dalam banyak hal, Sjahrir berbeda dengan Tan. L.N. Sitoroes, pengikut Sjahrir, mengatakan tak mungkin keduanya bisa bersama memimpin negara. "Tak mungkin terjadi. Salah satu di antaranya mestinya seorang Jawa," kata Sitoroes.

Namun "permusuhan" keduanya sebenarnya panas karena salah paham. Ketika Tan mendeklarasikan program minimum dan Persatuan Perjuangan pada 15 Januari 1946, banyak kalangan melihat itu sebagai oposisi terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Tapi, menurut Subadio, Perjuangan hanyalah panggung untuk mendongkrak popularitas Tan. Dan yang diincar Perjuangan bukanlah Sjahrir, melainkan Soekarno.

Hubungan Sjahrir dengan Tan tambah buruk ketika sebulan setelah Persatuan Perjuangan berdiri, Tan dan beberapa anak buahnya ditangkap dan dibui. Tak jelas apa alasannya sebab tak ada pengadilan atas mereka. "Saya tidak mengerti siapa yang melakukan itu, mengapa dan atas wewenang apa," kata Tan, dua tahun kemudian.

Surat perintah penangkapan Tan diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Menurut Amir, dia bertindak berdasar perintah tertulis Sjahrir. Entah betul atau tidak pengakuan Amir, sebab tak pernah ditunjukkan surat perintah dari Sjahrir. Pengikut setia Tan, Adam Malik, meyakini penangkapan itu ulah Amir.

Posisi politik Sjahrir saat itu sebenarnya lemah dan terus melemah. Partai Masyumi dan PNI mengajukan mosi tak percaya terhadap kabinet Sjahrir pertama. Dalam kabinet Sjahrir berikutnya, pengaruh Soekarno-Hatta semakin benderang.

Perjalanan politik Tan bisa dibilang sudah tutup buku ketika dia masuk penjara. Pengaruhnya pelan-pelan terkikis. Apalagi setelah dia dituduh berada di balik penculikan Sjahrir di Surakarta pada pertengahan 1946. Tuduhan itu tak terbukti. Menurut Harry Poeze, sejarawan Belanda, otak di balik penculikan Sjahrir ini adalah Mayor Jenderal Soedarsono dan Mohammad Yamin.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129740.id.html


Tak Ada Patung Bung Kecil

BERDIRI di antara dua pria Belanda, lelaki itu terlihat mungil. Tapi ia tampak sangat percaya diri. Peristiwa 17 November 1945 itu terekam kamera juru potret harian Merdeka, Alex Mendur.

Sutan Sjahrir, pria kecil itu, baru selesai menghadiri pertemuan dengan Gubernur Jenderal Belanda Van Mook dan Panglima Sekutu di Indonesia, Jenderal Sir Philip Christison, di Jakarta. Gara-gara foto itulah koran-koran lantas memberinya julukan "Bung Kecil".

Bersama puluhan foto lain, foto itu dipajang di ruang utama Gedung Joang 45, Menteng 31, Jakarta, 28 Februari-31 Maret, sebagai bagian peringatan 100 tahun Sutan Sjahrir. Koleksi ini melukiskan si Bung di era perjuangan, kebersamaannya dengan keluarga, hingga detik-detik kematiannya di Zurich, Swiss.

Kehadiran foto-foto Sjahrir di Gedung Joang 45 terbilang istimewa. Di gedung itu seolah tak ada tempat untuk perdana menteri pertama Indonesia ini. Peran Sjahrir seperti tak sebesar Soekarno-Mohammad Hatta, Adam Malik, B.M. Diah, Soekarni, dan beberapa tokoh lain, sehingga tak dibuatkan patungnya untuk dipajang di sana.

Di salah satu papan informasi tertulis, ketika Belanda ingin kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Perdana Menteri Sjahrir menolak karena berpegang pada slogan "Merdeka 100%". "Ini karangan musuh-musuh Sjahrir," kata Siti Rabyah Parvati, 48 tahun, putri Sutan Sjahrir, dua pekan lalu.

Slogan itu milik Tan Malaka, yang kala itu dipuja para pemuda anti-Sjahrir yang bermarkas di Gedung Joang 45. Nah, menurut sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein, gedung ini merupakan salah satu monumen anti-Sjahrir.

Dulunya gedung itu hotel mewah Schomper I, milik L.C. Schomper, pengusaha Belanda. Setelah Jepang berkuasa, tempat itu menjadi salah satu basis Angkatan Baru Indonesia yang diketuai Soekarni.

Di tempat ini, anak-anak muda mendapat gemblengan dari Soekarno, Hatta, Amir Sjarifoeddin, dan Ki Hadjar Dewantara. Namun, setahun kemudian, gedung ini beralih fungsi menjadi kantor Pusat Tenaga Rakjat cabang Jakarta Raya, kemudian menjadi kantor Djawa Hokokai.

Jebolan asrama Angkatan Baru itu membentuk Komite Aksi sehari setelah Indonesia merdeka. Pemimpinnya bersebelas, di antaranya Soekarni, Wikana, dan Chaerul Saleh. "Kesebelasan" Menteng 31 ini bermarkas di Prapatan Sepuluh (sekarang Kwitang). Mahasiswa asrama kedokteran Ika Dai Gaku bergabung dengan kelompok ini.

Malam 22 Agustus 1945, kelompok yang mencetuskan ide "Penculikan Rengasdengklok" itu pecah seusai sebuah rapat di Prapatan Sepuluh yang dihadiri Sjahrir. Mengenakan celana pendek, kemeja putih, dan sepatu tenis, Sjahrir mengajak peserta bersedia berunding dengan Belanda.

"Kalian tidak tahu bahwa Sekutu menang perang dan Belanda salah satu anggota Sekutu," katanya dalam bahasa Belanda, seperti ditulis Alizar Thaib dalam buku 19 September dan Angkatan Pemuda Indonesia. "Sebaiknya kita bentuk organisasi. Biarlah orang-orang Belanda itu kita terima. Sesudah lima tahun, kita adakan pemberontakan."

Kelompok mahasiswa kedokteran menerima gagasan Sjahrir, tapi Chaerul Saleh dan kesatuannya menolak ide itu. Ketika Sjahrir menjadi perdana menteri, pemuda Menteng 31 kembali menentang keras program kabinetnya, yang lebih mengutamakan diplomasi.

Aktivis Menteng 31 lantas membentuk Angkatan Pemuda Indonesia. Mereka menggempur NICA, merebut sarana transportasi, dan mengibarkan Merah-Putih di mana-mana. "Suasana revolusi mulai menyala ketika itu," tulis Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik jilid II: Angkatan 45.

Pada 19 November 1945, Sjahrir menetapkan Jakarta sebagai "kota diplomasi". Aktivis Menteng 31 bersama laskar rakyat pendukungnya hijrah ke Karawang, Jawa Barat. "Di sana markas mereka berpindah-pindah," kata Rushdy. Salah satunya Gedong Jangkung di Rengasdengklok, Karawang. Bangunan di pertigaan Pasar Rengasdengklok itu kini sudah menjadi tempat bisnis. Bagian depannya dijadikan gerai telepon dan kartu seluler. Bagian belakangnya malah menjadi rumah burung walet.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129741.id.html


Manifesto Seorang Antifasis

BEBERAPA hari setelah menjadi perdana menteri, akhir November 1945, Sutan Sjahrir menghadiri rapat akbar di alun-alun Kota Cirebon, Jawa Barat. Ia berpidato dengan suara tenang. Seorang hadirin bertanya, "Mengapa dalam buku Perdjoeangan Kita tak satu pun disebut nama Tuhan?"

Sjahrir tertawa. Ia menjawabnya dengan sebuah cerita. Ketika kecil dan bersekolah di Medan, katanya, ia membaca buku-buku matematika yang ditulis seorang pastor. Meski yang menulis pastor, tak sekali pun ada nama Tuhan di sana. "Perdjoeangan Kita adalah buku politik yang penuh perhitungan. Buku itu tak ditulis berdasarkan emosi," kata perdana menteri 36 tahun itu.

Kisah ini diceritakan Hamid Algadri, bekas Menteri Penerangan yang menemani Sjahrir berpidato, dalam memoarnya. Dengan jawaban itu, kata Hamid, terlihat benar Sjahrir orang yang rasional.

Pamflet Perdjoeangan Kita ditulis dan diterbitkan pada 10 November 1945, lima hari sebelum Sjahrir menjadi perdana menteri, bertepatan dengan bentrok fisik para pemuda dengan tentara Inggris di Surabaya. Hari yang ditandai dengan pekik "Merdeka atau Mati" itu kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Bagi Sjahrir, peristiwa itu satu contoh Indonesia masih labil dan lemah. Setelah kekuasaan tiga setengah tahun Jepang berakhir, Indonesia disergap kerusuhan dan kekacauan. Laskar-laskar pemuda menyerang tentara Sekutu, toko-toko diserbu dan dirampok, pembunuhan warga Tionghoa, Indo, Ambon, dan Manado terjadi di mana-mana.

Dengan penuh gelora dan kritik tajam, Sjahrir melukiskan situasi Indonesia di awal kemerdekaan itu pada bagian pertama Perdjoeangan Kita. Dengan jernih Sjahrir menunjukkan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan fasis baru dari dalam negeri sendiri.

Ia mengkritik, pekik merdeka hanya simbol kosong dari euforia kebebasan. Proklamasi 17 Agustus 1945 ia hantam sebagai peluang menyusun kekuasaan tapi tak dipakai oleh para pemimpin karena mereka "terbiasa membungkuk dan berlari untuk Jepang dan Belanda". Sjahrir sendiri absen saat Soekarno-Hatta membacakan pernyataan Indonesia merdeka itu.

Bagian kedua pamflet ini mengurai bagaimana seharusnya Indonesia menyusun kekuatan dan menegakkan Republik. Bagi Sjahrir, kekuatan itu harus dimulai dengan "revolusi kerakyatan", revolusi yang dipimpin golongan demokratis, bukan nasionalistis yang membudak kepada fasis lain. "Politieke collaboratoren harus dipandang juga sebagai fasis, berdosa dan berkhianat pada perjuangan dan revolusi rakyat," tulisnya.

Kalimat inilah yang memicu kemarahan tokoh politik ketika itu. Jenderal Sudirman, pemimpin tentara Pembela Tanah Air yang dibentuk Jepang, menyebut pernyataan Sjahrir kurang bijak. Para menteri menyatakan oposisi frontal. Menurut Rosihan Anwar, wartawan Harian Pedoman yang meliput sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di AMS Salemba, Menteri Pekerjaan Umum Abikusno Tjokrosujoso mengamuk ketika Sjahrir membacakan manifesto itu.

Meski ditentang kanan-kiri, Sjahrir jalan terus. Ia mengubah sistem presidensial dengan parlementer, sebagaimana keyakinannya dalam pamflet ini bahwa kedaulatan harus ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Partai-partai harus dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, dan berpengetahuan modern untuk membawa rakyat ke dalam revolusi.

Pada bagian akhir pamflet ini, Sjahrir menjelaskan agak teknis soal menyusun alat-alat pemerintahan: bagaimana memfungsikan pangreh praja, polisi, dan petugas agraria. Ia menyerukan buruh dan tani diperkuat melalui pendidikan politik sebagai kekuatan revolusioner yang demokratis. Pemilihan-pemilihan harus dimulai di desa. Pemuda, sementara itu, harus menyokong buruh dan tani, bukan pemimpin revolusi itu sendiri.

Ia juga menyinggung soal politik luar negeri. Menurut Sjahrir, kemerdekaan sesungguhnya harus dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan angkat senjata. Maka ia mempraktekkan politik diplomasi: berunding dengan Belanda dan Sekutu serta melecut simpati dunia internasional.

Sikap Sjahrir ini, menurut sejarawan Universitas Cornell, Amerika Serikat, Benedict Anderson, menenangkan dan menarik simpati Barat. Ben menyebut Sjahrir suara penting pemikiran modern Asia dengan Perdjoeangan Kita sebagai ekspresi terbaik ideologi politiknya. "Pamflet ini dokumen penting untuk mempelajari revolusi Indonesia dan lingkungan intelektual kaum pemimpinnya," tulis Ben dalam pengantar Our Struggle, Sutan Sjahrir pada 1968.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129743.id.html

Surat Pengagum Faust

"Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena aku mempunyai apa yang disebut mereka itu "kecenderungan-kecenderungan Barat" dan beberapa orang malahan mengatakan aku "kebelanda-belandaan" (Banda Neira, 9 Maret 1936).

HAMPIR sebulan dibuang di Banda Neira, Sjahrir menuliskan kalimat itu. Dengan tutur kata yang tenang, tak meledak-ledak, Sjahrir selanjutnya memasuki perenungan mengapa makin lama di Indonesia tumbuh perasaan anti-Barat yang kuat. Sebuah sikap yang menurut dia merupakan bagian dari kompleks kurang harga diri sebuah bangsa.

Surat-surat terkenal Sjahrir dari pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira, yang dalam edisi Indonesia diterbitkan dalam judul: Renungan dan Perjuangan, banyak membahas tema itu. Sjahrir pertama kali menjadi tahanan di penjara Cipinang, Jakarta. Ia masuk bui pada sekitar Februari 1934. Surat-suratnya dimulai dari bulan Maret. "Aku sama sekali tidak merasa diri seorang martir," demikian ia menulis. Berdiam di penjara, menurut dia, membuat dia berkepala dingin menghadapi segala sesuatu. Ia tak ingin hanyut dalam pemikiran romantis.

Itulah sebabnya mulai saat Sjahrir dipenjara di Cipinang, kita tak menemukan surat-suratnya yang bernada keluhan, umpatan, atau penderitaan. Sebaliknya surat-surat Sjahrir menukik pada renungan masalah sosial. Dalam bui ia tambah banyak membaca dan mempertimbangkan berbagai gagasan besar dunia. Di Cipinang itu ia misalnya banyak merenungkan persoalan pertentangan antara individu dan kolektivitas.

Ketika dibuang ke Boven Digul, surat-surat Sjahrir banyak bercerita tentang pengalamannya mengamati masyarakat setempat. "Di Digul ini aku mendapat kesempatan untuk menyelami lebih dalam struktur psikis-fisis bangsa kita." Surat-surat Banda Neira adalah surat-surat paling reflektif. Keelokan pantai Banda Neira, gunung apinya yang terlihat dekat, teluk yang laksana kaca licinnya, pulau-pulau kecil, pesta-pesta perkawinan masyarakat setempat, dimanfaatkan Sjahrir untuk menyegarkan pikirannya. Ia suka berenang dengan anak-anak ke laut. Ia suka pergi ke dermaga lama untuk melihat matahari terbenam.

Di Banda Neira pikiran-pikirannya tentang Barat makin eksplisit. Di suratnya bertanggal 31 Desember 1936, kita akan melihat adanya beberapa persamaan pikiran Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana dalam konsep Barat: "Barat" bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat-yaitu dalam pengertian dinamis ini-yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya."

Selanjutnya lihatlah bagaimana saat Sjahrir menerangkan "Timur". Menurut dia, banyak intelektual Indonesia yang terperangkap oleh gambaran Timur yang sesungguhnya diidealisasi oleh beberapa filosof. Timur yang tenang, yang harmoni, suatu Timur yang tak pernah ada. "Timur seperti dilihat orang-orang Buddhis itu, hanya ada bagi mereka saja. Apakah masih ada Timur semacam itu di Hong Kong atau Shanghai, atau Batavia? Di mana-mana di Timur ini irama hidup, tempo sudah dipercepat. Ketenteraman jiwa yang sangat dihasratkan itu mungkin masih kedapatan di pelosok-pelosok."

Kita dapat melihat orientasi dasar Sjahrir terhadap Barat itu, amat melandasi sikap-sikap politiknya, misalnya: sikapnya terhadap nasionalisme yang ekstrem. Sjahrir mengkritik perjuangan politik yang di negeri ini cenderung harus mempunyai unsur moral yang kuat. "Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi".

Ia juga mengkritik adanya kebencian yang tak kenal damai dengan Belanda. Pada Maret 1938, Sjahrir menulis surat bagaimana ia tak ingin terlibat dalam gerakan non-kooperasi. Sjahrir melihat gerakan non-kooperasi sudah diangkat menjadi soal kehormatan. Baginya, itu cermin dari mentalitas inferioritas. Pada titik itu, secara tajam ia menganggap nasionalisme yang ekstrem bisa menjadi timbul dari rasa rendah diri ini.

Ia menulis: "Aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar dari propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional." n

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129744.id.html


Asmara Sang Flamboyan
Sjahrir punya hubungan khusus dengan beberapa perempuan. Ia seorang flamboyan yang suka dansa dan gemar musik klasik. Pria yang amat mencintai anak-anaknya itu meninggal dalam kesunyian pengasingan-di sebuah flat sempit di Zurich, Swiss.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129745.id.html


Kasih yang Tak Sampai

AMSTERDAM adalah kota yang menggairahkan Sjahrir. Dia menemukan idealisme di kota ini. Juga teman-teman sealiran. Salomon Tas, wartawan berhaluan kiri, yang saat itu menjabat Ketua Sociaal Democratische Studenten Club (Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat) Amsterdam, adalah salah satu sahabat dekat Sjahrir. Berdarah Yahudi, Tas lahir dalam keluarga sederhana, terdidik, serta amat antikolonial. Mahasiswa Hindia Belanda yang sedang bersekolah di negeri itu, termasuk Sjahrir, segera menjadi kawan-kawan dekatnya.

Persahabatan dengan Tas kian erat ketika kakak Sjahrir, Siti Sjahrizad-alias Nuning-harus kembali ke Hindia Belanda pada 1931. Di rumah Nuning di Amsterdam Selatan itu tadinya Sjahrir tinggal, sejak datang pada Juni 1929. Tas kemudian menawarkan apartemennya sebagai tempat tinggal Sjahrir.

Di apartemen itu, Tas tinggal bersama istrinya, Maria Johanna Duch�teau, dan dua anak mereka yang masih kecil-kecil. Di rumah itu tinggal pula teman perempuan Maria bernama Judith van Wamel.

Tas, Maria, Judith, dan Sjahrir sama-sama menggemari sastra, film bermutu, dan musik. Mereka menonton film dan teater di Stadsschouwburg dan menghadiri pertemuan politik di bar Americain. Restoran terkenal Bohemien di kawasan Lange Leidse Dwaarstraat menjadi tempat berkumpul Sjahrir dan teman-temannya. Di restoran inilah Tas membentuk Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat.

Perkawanan itu ternyata melahirkan asmara antara Sjahrir dan Maria, istri Tas. Perempuan peranakan Belanda-Prancis ini berpikiran maju dan banyak membantu Tas dalam aktivitas politiknya. Pernikahannya dengan Tas pada tahun-tahun itu sedang gersang. Tas tidak punya waktu untuk Maria dan anak-anak mereka. Hidupnya hanya untuk politik.

Tidak perlu waktu lama bagi Sjahrir untuk merebut Maria. Sebenarnya itu tidak bisa disebut merebut karena Tas tahu hubungan sahabatnya dengan Maria. Bahkan dia sendiri sudah mulai berhubungan dengan Judith. Kees Snoek-yang mempublikasikan kembali surat-surat Sjahrir kepada Maria-menyatakan kepada koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, kehidupan mahasiswa pergerakan saat itu amatlah bebas.

Sjahrir serius menjalin cintanya dengan Maria. Ketika hendak pulang ke Hindia Belanda pada 1932, ia meminta Maria ikut. Kepada Mieske, panggilan sayangnya kepada Maria, Sjahrir menyatakan kekasihnya bisa membantu kaum perempuan di bidang pergerakan.

Sjahrir juga ingin menikahi Maria di Hindia Belanda kelak. Sesuai dengan rencana, dia pulang lebih dulu mengambil alih pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Menurut Snoek, ketika itu Hatta, yang diplot sebagai pemimpin, belum selesai studinya. "Sjahrir diputuskan kembali ke Indonesia lebih dulu," ujarnya.

Maria, rencananya, akan menyusul bersama anak-anaknya empat bulan kemudian jika perceraiannya dengan Tas sudah beres. Medan menjadi tempat pertemuan mereka.

Dari Batavia, Sidi-begitu Maria memanggil Sjahrir-berangkat ke Medan, sementara Maria dan dua anaknya berlayar dari Kolombo ke Medan. Pertemuan itu akhirnya berlangsung pada April 1932. Pada tanggal 10 bulan itu, Sidi dan Mieske menikah di sebuah masjid di Medan.

Keduanya menginap di rumah tempat Sjahrir tinggal sebelum bersekolah ke Jawa. Mereka tidak pulang ke Koto Gadang karena "tidak punya uang untuk pulang kampung." Rencananya, Sjahrir akan mengajak Maria ke Jawa.

Sjahrir rupanya tidak sadar tindakannya menikahi perempuan kulit putih bisa dianggap provokasi. Meski Medan ketika itu termasuk kota Hindia Belanda yang ramai, pasangan Sjahrir-Maria segera mengundang gunjingan. Apalagi mereka juga datang ke tempat-tempat pertunjukan musik, film, dan teater, yang ramai disambangi orang kulit putih.

Maria, yang gemar berkebaya dan memakai kain, segera mengundang perhatian orang Belanda. Mereka bertanya, mengapa Maria mengenakan pakaian pribumi. Empat hari setelah pernikahan mereka, Sumatran Post, koran terbesar di Medan saat itu, menulis tentang Maria: "Perempuan bersarung kebaya dalam penyelidikan polisi."

Sebulan lewat, polisi mulai menyelidiki dokumen pernikahan Maria. Mereka menemukan Maria menikah dengan Salomon Tas, aktivis pergerakan antikolonial. Selain itu, Tas ternyata belum menceraikan Maria secara resmi. Karena Maria menikah secara Islam pada saat belum bercerai, keruan saja para pemuka agama jadi ribut.

Lima pekan setelah pernikahan mereka, pada 5 Mei 1932, pernikahan Sjahrir dibatalkan oleh pemuka agama setempat. Lima hari kemudian, Maria dipulangkan ke Belanda. Yang membuat hati Sjahrir pedih, Maria tengah mengandung anak laki-laki mereka.

Keinginan Sjahrir untuk segera menyusul sang istri ke Belanda ternyata penuh rintangan. Rentetan kejadian tragis kemudian menimpa Sjahrir. Hatta akhirnya pulang dari Belanda, tapi mendapat kecelakaan ketika mengunjungi orang tuanya di Sumatera. Sjahrir kembali mengundurkan niat ke Belanda. Surat Maria juga sudah lama tidak datang.

Belakangan datang kabar dari Maria yang menyebut kematian bayi mereka sesaat setelah dilahirkan. Hubungan Sjahrir dan Maria kembali terjalin. Mereka kembali bersurat-suratan. Sjahrir meneguhkan niatnya menyusul Maria. Apalagi ia sudah mengantongi izin dari Pendidikan Nasional Indonesia untuk kembali bersekolah di Belanda.

Rencananya, ia berangkat menumpang kapal uap S.S. Aramis dari Batavia pada Maret 1934 dengan bekal uang kiriman Maria. Celaka, akhir Februari itu, Hatta ditangkap. Sjahrir, yang bersembunyi di rumah adik tirinya, Radena, ditangkap polisi sehari kemudian.

Meski pertemuan dengan sang kekasih hati lagi-lagi kandas, hubungan Sjahrir dan Maria kian hangat lewat surat-menyurat. Maria menjadi satu-satunya tempat curahan hati yang memahami kesulitannya.

Dua tahun setelah penahanan Sjahrir, mereka kemudian menikah kembali, 2 September 1936. Pernikahan jarak jauh itu diwakili oleh pelukis Salim. Sjahrir, yang berada dalam pembuangan di Banda Neira, berangkat ke kantor gubernur. Sayang, pernikahan jarak jauh menciptakan suasana yang tidak sehat dan penuh ketegangan.

Untuk meredam masalah, Sjahrir meminta Maria menyusulnya ke Banda Neira. Keinginan itu gagal karena Maria tak punya cukup uang.

Akhir 1939, ketika Maria sudah punya uang , tidak ada kapal lagi yang menuju Hindia Belanda. Perang Dunia II sudah berkobar. Kembali mereka hanya surat-menyurat.

Setelah Indonesia merdeka dan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama, tidak juga ada kabar baik bagi keduanya. Nyala cinta mereka mulai redup. Sebuah pertemuan di New Delhi, India, pada April 1947 menjadi penentu akhir perjalanan mereka.

Ketika itu, Nehru rupanya hendak membikin kejutan bagi Sjahrir. "Ia tidak bilang akan mengundang Maria," kata Snoek. Pada pikir Nehru, apalah salahnya mengundang Maria, yang masih jadi istri Sjahrir. Nehru tak tahu kala itu asmara sudah terjalin antara Sjahrir dan asistennya, Poppy.

Pertemuan setelah 15 tahun itu berlangsung dingin. Maria, bersama Nehru dan putrinya, Indira Gandhi, menyambut Sjahrir yang didampingi Poppy di bandar udara. Dalam sebuah wawancara pada 1988, Maria menyebut betapa Sjahrir sudah jauh berubah. "Mungkin karena ia sudah menjadi negarawan."

Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya ke pipi Maria. Setahun kemudian, api cinta lama itu benar-benar padam. Keduanya memutuskan bercerai pada 12 Agustus 1948.

Belakangan, Maria menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam, yang bersekolah di Belanda. Sejak kembali ke Belanda, Maria tinggal bersama Sjahsyam, yang ikut membesarkan anak-anak Maria dari perkawinannya dengan Tas.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129746.id.html


Kees Snoek:
Maria Ingin Membakar Surat-surat itu

SEBUAH "kebetulan" mengantar Kees Snoek mendapatkan "harta karun" berupa surat-surat Sjahrir kepada Maria Duch�teau-istri pertamanya yang orang Belanda. Snoek sedang menulis biografi tentang penyair Belanda Charles Edgar Du Perron. Tak dinyana, sang penyair merupakan sahabat Sjahrir dan Maria.

Sjahrir menulis di atas kertas biru tipis. Surat yang dilayangkan pada 1931-1940 itu berjumlah 287 buah dengan panjang bervariasi antara 4 dan 7 halaman. "Tulisan tangan Sjahrir kecil-kecil dan sukar dibaca," ujar Snoek. "Sepertinya dia menulis secara terburu-buru". November mendatang ia akan menerbitkan surat-surat bersejarah itu.

Berikut ini wawancara koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, dengan Snoek.

Anda mengetahui hubungan Sjahrir-Maria Duch�teau saat melakukan riset tentang Du Perron?

Untuk menulis biografi Du Perron yang bersahabat pena dengan Sjahrir, saya menghubungi Maria Duch�teau pada 1993. Saya dan Maria saling bertulis surat karena saya masih tinggal di Selandia Baru, Januari 1994, ketika kembali ke Eropa, saya bertemu dengan Maria.

Jadi sebetulnya Anda tidak tertarik dengan Sjahrir?

Bukannya tidak tertarik, tapi sejarah Indonesia bukan bidang yang saya dalami. Saya tahu bahwa Maria adalah istri Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Dari hasil ngobrol dengan Maria, saya tahu bahwa Marialah yang menyusun buku Renungan Indonesia (diterjemahkan menjadi Out of Exile), semacam diari fiktif seorang pejuang Indonesia yang sebetulnya kumpulan dan kutipan dari ratusan surat-surat Sjahrir kepada Maria. Dia menyusun buku itu tentu dengan menghilangkan kalimat-kalimat pribadi, jadi buku itu terlihat seperti murni pemikiran seorang pejuang yang sedang memikirkan ide memerdekakan bangsanya.

Surat-surat itu ditulis tangan?

Maria menunjukkan surat-surat asli yang umumnya ditulis tangan di atas kertas tipis biru yang rapuh. Dia terpikir membakar surat-surat itu sebelum meninggal, karena menurut dia surat itu cuma surat cinta biasa. Saya bilang jangan, apalagi surat itu punya nilai sejarah walaupun konteksnya surat pribadi. Meski surat cinta, di dalamnya banyak cerita tentang perkembangan negeri, sastra, budaya, dan lain-lain. Dari surat-surat itu kita bisa tahu gambaran karakter yang menulisnya. Maria setuju.

Bagaimana Anda akhirnya memperoleh surat-surat itu?

Ketika Maria meninggal, saya terus berkorespondensi dengan suami keempatnya, Mr. Stall. Dari dialah saya mendapatkan surat-surat Sjahrir tersebut. Saya kemudian membacanya dan baru menyadari betapa surat-surat itu adalah surat berharga yang akan menjadi kerugian sejarah jika tidak diapa-apakan. Dari situlah saya berniat membuat buku.

Berapa banyak surat itu?

Semua surat ditulis pada 1931-1940, berjumlah 287 surat yang ditulis di atas 952 lembar kertas. Panjang surat bervariasi antara 4 dan 7 lembar, dengan tulisan tangan yang kecil-kecil serta sukar dibaca. Terlihat sekali surat-surat itu ditulis dengan cepat dan tergesa-gesa sehingga susah dipahami. Kadang saya menemui kesulitan untuk memahami tulisan maupun bahasa Belandanya. Jadi, untuk mengerti seluruh kalimat dari sebuah kata yang tidak terbaca, saya sesuaikan dengan konteksnya. Semua surat itu lengkap, mungkin ada satu-dua yang hilang tapi yang jelas tidak ada yang dibakar.

Dari mana saja Sjahrir menulis surat itu?

Surat awal masih ditulis di Eropa, selanjutnya ditulis dari berbagai tempat di Indonesia, misalnya Semarang, Medan, Jakarta, Bandung, Solo, Ambarawa, Cipinang, lalu Boven Digul.

Kapan surat itu akan Anda terbitkan sebagai buku?

Buku itu barangkali terbit pada November. Ini akan menjadi edisi terbatas dari KITLV Press karena mahal dan khusus untuk para spesialis dan kalangan akademisi. Tapi saya kira menarik juga untuk sejarawan Indonesia karena dalam buku-buku sejarah atau biografinya tidak pernah ada yang menceritakan perkembangan batin Sjahrir dalam masa perjuangan. Pada umumnya buku sejarah menulis hal yang sudah diedit, untuk kepentingan negara, jadi semua pahlawan Indonesia ditampilkan seideal mungkin. Tapi banyak yang lupa mereka juga manusia biasa dengan banyak kelebihan dan kekurangannya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129747.id.html


Sang Pemuja dan Tuan Perdana Menteri
Poppy adalah istri dan pengagum terbesar Sjahrir. Ia tersenyum, dalam suka dan derita.

SEKRETARIS baru itu menarik perhatian ”Tuan” Perdana Menteri. Bila melintas, sang bos suka menggoda. Alih-alih marah, Poppy Saleh, sekretaris yang digoda itu, hanya bersemburat merah pipinya. Dari ruang kantor perdana menteri, pergaulan sekretaris dan bos itu berlanjut menjadi kisah romantis. Sjahrir tak bertepuk sebelah tangan.

Rupanya bukan sebuah kebetulan. Poppy telah lama mengagumi bosnya. Itu sebabnya, ”Sjahrir mudah mendekati Poppy, padahal ia perempuan yang enggak kenal lelaki,” kenang Siti Zoebaedah Osman, sekretaris pribadi Sjahrir, saat ditemui Tempo dua pekan lalu.

Ketika menjadi perdana menteri pada 14 November 1945, Sjahrir memutuskan mengangkat dua sekretaris. Yang menangani urusan pribadi berkantor di rumahnya di Jalan Jawa (sekarang Jalan H.O.S. Cokroaminoto) di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Tugas ini dipegang Ida—lengkapnya Zoebaedah—yang telah lama membantu Sjahrir.

Sekretaris yang lain mengurus kantor Perdana Menteri. Situasi politik yang pelik saat itu membuat Sjahrir mensyaratkan sekretarisnya haruslah wanita yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Ia minta rekomendasi pada Soedjatmoko. Sang sahabat akhirnya membawa kakaknya, Poppy Saleh, candidaat jurist (kandidat sarjana hukum) dari Rechtshoschool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

Siti Wahjunah Saleh nama lengkap sekretaris itu. Lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 11 Mei 1920 dari pasangan Dr KRT Mohamad Saleh Mangundiningrat dan RA Isnadikin Tjitrokusumo. Tiga saudara Poppy yang lain adalah orang-orang yang di kemudian hari dikenal luas. Soedjatmoko pernah menjabat Duta Besar Indonesia di AS dan mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo. Miriam Budiardjo merupakan salah satu pendiri Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia serta salah satu pendiri Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Nugroho Wisnumurti adalah mantan duta besar tetap Indonesia di PBB.

Poppy tak sekadar menemani Sjahrir di kantor. Seusai perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947, Gubernur Jenderal Belanda H.J. van Mook menggelar resepsi di Istana di Jakarta. Sjahrir menggamit Poppy di pesta yang menampilkan konser Rontgen Quartet dari Negeri Belanda itu.

Beberapa hari sesudah resepsi, Sjahrir terbang ke India. Pemerintah India rupanya mempersiapkan kejutan: di bandara New Delhi, mereka menghadirkan Maria Duchâteau, istri Sjahrir. Poppy yang ikut ke India kemudian tahu untuk pertama kali bahwa sang kekasih pernah menikah.

Sjahrir mengawini wanita Belanda itu di Medan pada 1932. Sebulan lebih menikah, Maria ”ditendang” dari Indonesia. Pemerintah kolonial menganggap akad mereka tidak sah karena pengantin wanita masih berstatus istri orang. Maria juga dicurigai memiliki motif politik di negeri ini.

Reuni pasangan yang 15 tahun berpisah itu, yang semula diharapkan menjadi kejutan besar untuk Sjahrir, menjadi anti-klimaks. Jangankan menyambut hangat, Sjahrir hanya mencium kedua pipi Maria cepat-cepat. Suasana berubah canggung. Di kemudian hari, Maria mengeluhkan pertemuan New Delhi itu sebagai pertemuan yang ”tak menyenangkan”. Ia mengatakan suaminya ”sudah berubah”.

Abu Hanifah, delegasi Indonesia yang tiba di Delhi sebelum Sjahrir, menuturkan kesaksiannya dalam buku Robert Mrazek, Sjahrir: Politic and Exile in Indonesia, bahwa ”ada seorang wanita Indonesia, muda dan menarik, kini menjadi idolanya. Ia ikut dengannya di pesawat.”

Tak sulit menebak ”wanita Indonesia, muda dan menarik” itu. Ya, Poppy Saleh. Sjahrir dan Maria akhirnya berpisah pada 12 Agustus 1948. Meski mencintai pria yang sama, Poppy dan Maria tak pernah berseteru.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 23 Agustus 1949, Poppy datang sebagai aktivis Gerakan Wanita Sosialis. Di sela-sela konferensi, dua wanita Sjahrir itu sempat bertemu. Sayang, Poppy tak pernah mengungkap banyak isi pertemuan itu. Maria, konon, hanya sempat berkeluh kesah tentang sulitnya menjadi istri seorang pemberontak.

Poppy punya sisi kehidupan yang lain. Pada akhir 1949, ia mendaftar ke Universitas Leiden di Belanda. Setelah meraih gelar meester in de rechten pada 1950, Poppy melompat lagi ke London School of Economics di Inggris. Selama studi, ia berpisah dengan Sjahrir. ”Menjaga jarak selama satu atau dua tahun untuk tahu apakah kami cocok untuk menikah,” cerita Poppy kepada Mrazek.

Masa menjaga jarak itu berakhir setelah studi Poppy selesai. Keduanya memutuskan menikah. Poppy ketika itu di London dan Sjahrir di Jakarta, tapi mereka memilih menikah di Kairo, Mesir. Penghulunya adalah Rektor Universitas Al-Azhar, Syekh Abdul Magud Selim, dan wali Poppy adalah Soedjatmoko, kakaknya.

Pasangan berusia 42 dan 31 tahun ini menghabiskan bulan madu di Kairo. Mereka tersenyum bahagia saat berpose di depan piramida dan sphinx. Ada yang tak biasa. Pengantin pria memboyong dua anak angkatnya dari Banda, tapi Poppy tak mengeluh.

Dua anak lahir dari perkawinan ini: Kriya Arsjah pada 1957 dan Siti Rabyah Parvati pada 1960. Baru sebentar hidup bersama keluarga kecilnya, pada 1962 sang ayah diseret ke penjara di Madiun, Jawa Timur. Sjahrir dituduh berniat menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno.

Poppy lagi-lagi harus bersabar dan membesarkan hati. Selama delapan bulan Sjahrir dikerangkeng, hampir setiap bulan Poppy datang berkunjung. Bertiga dengan Buyung (Kriya) dan Upik (Siti Rabyah)—panggilan dua anaknya—Poppy dengan setia menyusuri rel kereta api Jakarta-Madiun.

Ia harus mengurus berlembar surat izin masuk setiap menjenguk suaminya. ”Tapi Mama tak pernah mengeluh. Dia jalani saja, yang penting bisa ketemu Papa,” kisah Upik. Dari balik terali, sang suami pun membalas. Hampir setiap hari Sjahrir menorehkan surat penuh rindu kepada istrinya.

”Cinta Mama sangat luar biasa. Sampai akhir hayatnya, yang Mama pikirkan hanya Sjahrir, Sjahrir, dan Sjahrir,” ujar Upik. Ketika Sjahrir wafat pada 1966, Poppy tenggelam dalam duka yang berkepanjangan. ”Di depan kami dia tersenyum, tapi diam-diam Mama sering menangis.” Upik kerap memergoki ibunya sesenggukan di ranjang sambil menatap sebuah kotak. Baru belakangan ia tahu: kotak itu berisi gips cetakan wajah ayahnya, sesaat setelah wafat di Zurich.

Buyung punya cerita lain. Semenjak Sjahrir berpulang, ibunya semakin menyelami hal-hal spiritual. Poppy bahkan menanggalkan semua perhiasan dan tak lagi berdandan. ”Mungkin itu kaulnya sebagai tanda setia kepada suami,” kata Buyung. Kesetiaan sang ibu sungguh membekas di benak kedua anaknya. ”Kalau Mama mendewakan Sjahrir, maka saya memuja Mama Poppy,” cetus Upik.

Poppy pula yang meredakan amarah Buyung ketika si sulung dihina teman-teman di Sekolah Dasar Kepodang, Jakarta, dengan sebutan anak tahanan. ”Papamu mengajarkan kita tidak jadi pendendam,” kata Poppy berulang kali. Sang ibu dengan setia menyiramkan kata-kata yang mendinginkan Buyung dan Upik yang sakit hati mengetahui ayahnya diseret ke bui oleh bangsanya sendiri. ”Papa enggak pernah membenci orang-orang itu,” ujar Upik, menirukan ibunya.

Istri Sjahrir ini memang penuh kasih dan pemaaf. Namun, Minarsih Soedarpo, rekannya di Gerakan Wanita Sosialis, mengenang Poppy sebagai sosok yang tertutup. ”Ia bukan tipe orang yang suka mengutarakan perasaan. Semua dipendam sendiri saja,” kata istri almarhum Soedarpo Sastrasatomo, aktivis PSI.

Menurut Mien, dalam banyak hal Poppy sebetulnya tertekan. ”Saya tahu dia menderita, tapi tidak pernah diperlihatkan. Semua dijalani saja,” tuturnya kepada Tempo. Mien menduga Poppy kadang tertekan karena cara pandangnya sering berbeda dengan Sjahrir. Poppy sebetulnya tak sejalan dengan suaminya yang kerap memilih jalan konfrontatif dalam menghadapi masalah.

Namun Poppy tak pernah menampakkan wajah susah saat bersama Sjahrir. Bahkan, ketika suaminya dirawat di Zurich, Swiss, Poppy dengan setia membacakan koran, menyuapi, dan menemani suaminya setiap hari. Ia juga satu-satunya yang bisa ”menerjemahkan” semua yang keluar dari mulut Sjahrir, yang sudah tak mampu bicara karena terserang stroke.

”Mama selalu menciptakan suasana happy dan damai, walau sedang susah,” kenang Upik. Suatu hari pada 1999, Poppy terjatuh di sebuah resepsi. Tulang panggulnya retak. Ia menolak dioperasi dan memilih dirawat di rumah. Kondisinya memburuk dari hari ke hari. Pada usia 79 tahun, Poppy berangkat menyusul pujaan hatinya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129748.id.html


Sekilas Cinta di Lereng Ceremai
Sjahrir mendekati putri Keraton Mangkunegaran. Membantah sempat bertunangan.

PADA suatu masa, tersebutlah Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri Keraton Mangkunegaran, Solo. Kecantikannya termasyhur ke mana-mana, begitu pula kepandaiannya menunggang kuda.

Sutan Sjahrir, pemuja wanita itu, tak urung menaruh hati pada sang putri. Setiap kali rapat kabinet digelar di Yogyakarta, sang Perdana Menteri mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman, ke Puri Mangkunegaran, khusus mengantar kado.

”Aku yang deketin, bawain kado dan menyampaikan salam,” kata Ida—demikian ia disapa—ketika ditemui Tempo di rumahnya di Jalan Lombok, Jakarta Pusat, dua pekan lalu.

Kado dibeli di Jakarta. Isinya macam-macam, sampai tas dan arloji. Berapa nilainya? Ida tak ingat, kecuali bahwa kado untuk Nurul selalu yang terbaik. ”Sjahrir tidak tanggung-tanggung membahagiakan hati seorang wanita,” kata sejarawan Rushdy Hoesein.

Tentu terlampir sepucuk surat tulisan tangan Sjahrir. Nurul ketika itu memang ditaksir pembesar dan raja. Mulai Bung Karno sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IX. ”Dia alim, cakep, dan tidak angkuh,” kata Ida, kini 85 tahun.

Sebagai ”mak comblang”, Ida menceritakan watak Sjahrir kepada putri tunggal pasangan Mangkunegara VII dan Gusti Ratu Timur—putri Sultan Hamengku Buwono VII itu. ”Dia menanyakan watak si Bung,” kata Ida, yang pernah diajar membatik oleh Nurul dan menginap di Istana Mangkunegaran.

Ketika ditemui Tempo di rumahnya di Bandung, Gusti Nurul bertutur lirih, ”Saya dioleh-olehin gelang, jam, tas.” Tapi hubungan mereka lebih banyak melalui korespondensi. ”Tulisannya jelek,” kata Nurul, kini 88, seraya tersenyum kecil.

Menurut Nurul, Sjahrir tidak pernah menemuinya di Istana Mangkunegaran. ”Saya ketemu di Linggarjati,” kata Nurul, yang ketika itu diundang bersama abangnya, Mangkunegara VIII dan istri, serta ibunya. ”Kami nginep di rumah perundingan Belanda-Indonesia.”

Selanjutnya mereka bertemu di Jakarta, jika Keraton Mangkunegaran diundang rapat ke Istana Presiden. ”Ketemunya juga sebentar-sebentar.” Nurul sendiri sudah tak ingat apa yang pernah dibicarakannya dengan Sjahrir. Yang dia ingat, Sjahrir pernah membelai pipi dan dagunya.

Menurut Ida, Sjahrir pernah melamar perempuan yang pandai menari ini. Muhammad Akbar Djoehana, anak kakak perempuan Sjahrir, Nuning Djoehana, malah mengatakan Sjahrir dan Nurul sudah bertunangan. ”Menurut ibu saya, mereka pernah tukar cincin,” katanya kepada Asmayani Kusrini dari Tempo.

Nurul membantah cerita ini. ”Ndak pernah,” kata nenek 14 cucu itu. Sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan, pacaran Sjahrir dan Nurul berjalan sekitar tiga tahun, sejak 1946.

Nurul, yang belajar menari sejak usia lima tahun, pernah tampil menari dalam pernikahan Juliana, anak Ratu Wilhelmina, di Belanda. ”Itu sumbangan kebudayaan kita,” katanya, yang mengaku deg-degan ketika menari itu karena musik gamelan pengiring diputarkan langsung dari Keraton Solo melalui radio terputus-putus.

Sedari kanak-kanak, Nurul mengaku tidak berniat menikah dengan tokoh politik. ”Risikonya banyak,” katanya. Ia ingin menikah dengan militer, dan terkabul.

Perempuan cantik ini akhirnya menikah dengan sepupunya, Soerjo Soejarso, yang pernah menjabat atase militer Republik Indonesia di Amerika Serikat. ”Tapi, sewaktu dapat suami militer, kok seragam Indonesia enggak bagus, enggak kayak seragam tentara Belanda,” katanya tersenyum.

Nurul menikah pada 24 Maret 1951. Pada tahun yang sama, Sjahrir menikah dengan Poppy, putri dr. Saleh—dokter keraton.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129749.id.html


Zurich, Detik-detik Terakhir
Sutan Sjahrir meninggal di Zurich. Inilah kenangan Buyung dan Upik, anak-anak Sjahrir, tentang hari-hari terakhir kehidupan ayahnya.

"NICHT zu kurz”, catatan di atas secarik kertas itu dibawa Kriya Arsjah Sjahrir. Dalam perjalanan menuju tukang cukur, Buyung—begitu panggilan bocah berusia sembilan tahun itu—mencoba menghafalnya. Dan saat di tempat cukur, ia dapat berkata lantang kepada tukang cukur, ”Nicht zu kurz,” yang artinya: jangan terlalu pendek. Bocah kelas 2 SD itu senang sekali.

Begitulah Buyung belajar bahasa Jerman sedikit demi sedikit dari sang ibu, Poppy Sjahrir. Saban sore, ia memberi kursus singkat kepada si sulung. Waktu itu, paruh kedua 1965, Poppy mendaftarkan Buyung ke sekolah umum di Zurich, kota terbesar di Swiss. Negara ini memiliki empat bahasa resmi: Jerman, Prancis, Italia, dan Romansh yang kurang populer.

Lokasi sekolah Buyung tergolong jauh untuk ukuran anak-anak, sekitar 400 meter dari flatnya yang kecil, di pinggiran Kota Zurich. Toh ia menempuhnya dengan berjalan kaki, sendirian, tiap pagi. Pada hari pertama saja ia diantar sang mama, yang mengurus administrasi pendaftaran. Padahal, hampir semua kawannya diantar orang tua.

Inilah pengalaman pertama Buyung tinggal di luar negeri. Keadaan yang menerbangkannya ke negeri ini. Ayahnya, Sutan Sjahrir, sudah dua kali terserang stroke, plus komplikasi cukup parah. Sang ayah tak bisa bicara, tangan kanannya sulit digerakkan. Awalnya, Poppy mengirim catatan medis kesehatan Sjahrir yang lengkap kepada Soekarno. Ia meminta suaminya diizinkan berobat ke luar negeri untuk menjalani fisioterapi.

Soekarno mengabulkan. Tapi, dalam surat izin, Presiden RI pertama ini mensyaratkan: asal tidak ke Negeri Kincir Angin. Alternatif negara netral, Swiss atau Swedia. Poppy pun memilih Swiss, dengan alasan ia ”sedikit” bisa berbahasa Jerman. Soebandrio—saat itu Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen—diperintahkan mengurus paspor diplomatik untuk keberangkatan. Tak ada perubahan status Sjahrir, tetap sebagai interniran.

Pada 21 Juli 1965, pasangan suami-istri itu terbang meninggalkan Tanah Air, dari Bandara Kemayoran, Jakarta. Beberapa karib mengantar untuk mengucapkan selamat jalan. Bagi sebagian besar mereka, inilah terakhir kali melihat Sjahrir. Sebuah apartemen telah disiapkan di sana. Tempat yang cukup baik: dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan balkon menghadap ke danau.

Anak-anak mereka: Buyung dan Siti Robyah Parvati—akrab dipanggil Upik—menyusul sekitar tiga bulan kemudian bersama Ibu Dun, inang pengasuh mereka. Ibu Dun masih saudara Poppy di Solo, Jawa Tengah. Perjalanan panjang, sekitar 20 jam penerbangan, dan melelahkan itu sempat membuat Upik demam.

Menurut Buyung, Sjahrir selalu berlinang melihat dirinya pagi-pagi berangkat sekolah sendirian. Upik juga saat itu hampir setiap hari melihat ayahnya menangis. Upik saat itu lima tahun. Pada pagi hari ketika bangun tidur, misalnya, masih memakai piyama, ia selalu berlari kecil menuju kamar sang papa, menceritakan mimpi yang baru saja dialami. Sjahrir menangis. Sjahrir mendekap Upik. Si bungsu mengernyit. ”Ma, kenapa sih kalau aku cerita kok Papa menangis,” tanya Upik. Poppy menjelaskan, Papa bukan menangis sedih, melainkan bahagia. ”Papa enggak bisa bicara, enggak bisa menjawab pertanyaanmu.”

Tempat paling indah bagi Upik adalah sebuah rumah tidak jauh dari flatnya. Rumah bertaman mungil itu dilengkapi patung tujuh kurcaci lucu. Upik terpesona betul. Sampai-sampai, ia ”memaksa” lewat rumah tersebut setiap kali hendak pergi ke mana pun, kendati ia harus mengambil jalan memutar. Cerita tujuh ”sahabat” Upik ini diungkapkan kepada ayahnya. Lagi-lagi, mantan perdana menteri itu menjawabnya dengan tangis.

l l l

Sjahrir menjalani terapi 2-3 kali dalam sepekan. Dokter Schwarz, ahli fisioterapi Zurich, membantu Sjahrir menggerakkan tangan, belajar menulis, dan berartikulasi. Sjahrir dilatih bicara huruf vokal. ”A, i, u, e, o,” Sjahrir diminta menirukan suara Schwarz.

Saat Sjahrir menjalani terapi di Zurich itu, beberapa temannya yang tengah berkunjung di Eropa menengoknya. Ada istri Idham, Sulaimansyah—adik Sjahrir yang tinggal di Belanda. Soemitro, yang dalam pengasingan sejak peristiwa PRRI/Permesta, juga pernah berkunjung. T.B. Simatupang membesuk ketika menghadiri Kongres Gereja Sedunia di Eropa. Mereka makan malam dan berbincang bersama. Sjahrir, yang tak dapat berbicara, menyimak dengan minat besar. Malah, ketika Simatupang pamit, Sjahrir bersemangat mengantar ke shuttle bus. Ia mengambil mantel, topi, dan syal.

Hamid Algadri, seperti diceritakan Rudolf Mrazek dalam buku Sjahrir, Politics and Exil in Indonesia, mampir di flat kecil Sjahrir saat ia melakukan perjalanan bisnis ke London, Inggris, beberapa hari setelah peristiwa 30 September 1965. Hamid melihat dalam flat Sjahrir surat kabar tampak bertebaran. Kepada Hamid, Sjahrir mengambil koran menunjukkan laporan, foto, seolah ingin bertanya tentang tragedi itu.

Pada 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto secara de facto menggantikan Soekarno. Poppy sedang di dapur kala itu, dan Sjahrir, seperti biasa, menonton televisi Jerman. Sjahrir menghambur ke dapur, menggandeng tangan Poppy, supaya bergegas menuju pesawat TV mengikuti sisa berita. Sjahrir berusaha mengungkapkan sesuatu, ”Hhhhhhh,” tapi istrinya tak paham.

Sesudah peristiwa itu, kondisi Sjahrir drop. Pada April 1966, tanda-tanda tekanan darah sangat tinggi menyebabkan Poppy melarikannya ke rumah sakit Zurich. Para dokter mendiagnosis perdarahan di otak. Tidak ada harapan. Sjahrir mengalami koma selama tujuh hari. Poppy dua hari mendampinginya di rumah sakit, lalu pulang, namun tidak dapat tidur. Sepanjang malam Poppy berbicara dengan keluarga di Indonesia melalui saluran telepon jarak jauh.

Esoknya, Poppy kembali ke rumah sakit. Pada 9 April, Poppy, juga anak-anak, menyaksikan suaminya meninggal. Upik belum mengerti benar. Ia menganggap ayahnya sedang tidur saja. Poppy langsung mengirim kawat ke Bung Karno. Mohammad Roem, Subadio, Anak Agung, dan Mochtar Lubis masih di penjara ketika kabar itu datang. Tapi mereka mendengarnya dari Radio Nederland di Hilversum.

Pagi hari, 15 April 1966, enam hari setelah Sjahrir meninggal, negara, pers: radio, televisi, surat kabar, memberitakan dekrit yang diteken Soekarno yang masih resmi menjabat. Dekrit bertanggal hari Sjahrir meninggal, menyatakan Sjahrir sebagai pahlawan nasional dan memerintahkan pemakaman negara dengan penghormatan penuh.

Wakil Perdana Menteri Dr J. Leimena melayangkan surat kepada Poppy, mengabarkan pemberian penghargaan tersebut. Ia meminta persetujuan keluarga untuk pemakaman negara di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Poppy setuju. Tapi para karib menyusun sendiri kepanitiaan untuk pemakaman Sjahrir yang dipimpin Jusuf Jahja, dan Rosihan Anwar sebagai juru bicara. Anggotanya, Dr Soedarsono, Mariah Ulfah Subadio, Ali Boediardjo, Sudarpo Sastrosatomo, Wibowo, Dr A. Halim, Hamid Algadri, Djuir Mohammad, Idham, Sutan Sjahsam, Ali Sjahrir, Achmad Fauzy, Muher, dan Omar Tusin.

Di Zurich, beberapa orang Mesir yang tinggal di negeri ini dan tokoh-tokoh masyarakat Islam Swiss melayat. Mereka minta izin untuk menyolatkan jenazah di ruangan khusus, di rumah sakit. Lantas, diterbangkan ke Indonesia. Ibu guru Paraviccini, guru tempat Buyung menempuh pendidikan, sempat mencegah Buyung pulang ke Indonesia. Ia berjanji untuk menyekolahkan dan membesarkan murid kesayangannya itu di Swiss. Tapi Poppy menolak. ”Buyung harus sekolah dan dibesarkan di negara di mana ayahnya berjuang memerdekakan Indonesia,” kata Poppy, seperti ditirukan Buyung.

Perjalanan menggunakan maskapai penerbangan Belanda KLM. Pertama singgah di Belanda. Sebuah upacara penghormatan telah disiapkan di Amsterdam. Kemudian berlanjut melalui Frankfurt, Kairo, dan transit di Bangkok. Mereka ganti pesawat Garuda Indonesia. Rombongan tiba di Bandara Kemayoran, 17 April. Peti jenazah telah ditutup dengan bendera merah putih. ”Kami dijemput dan ada sedikit upacara di bandara,” demikian Upik mengenang.

Malamnya, keluarga menggelar tahlilan di kediaman Jalan Cokroaminoto 61, Menteng. Esok hari, menjelang tengah hari, jenazah diberangkatkan ke Kalibata, dengan iring-iringan yang sangat panjang. Bayangkan, bagian depan rombongan telah memulai proses pemakaman, sedangkan bagian belakang masih di dekat Hotel Indonesia.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129750.id.html


Wajah Sjahrir dalam Kotak
IA memejamkan matanya. Rautnya seperti menahan kesakitan. Gips cetakan wajah Sjahrir itu seperti sebuah kepala. Kita seperti melihat kepala Sjahrir diawetkan. Sjahrir tertidur. Ia tampak lelah sekali.

Gips wajah Sjahrir itu disimpan dalam sebuah kotak kayu tebal cokelat dengan dua gembok kecil. Kayu persegi panjang itu dibuat seperti kotak plakat yang biasa dipakai sebagai kotak hadiah yang berisi kenang-kenangan untuk tamu. Bila penutup kotak plakat dibuka, biasanya isinya adalah hiasan atau cendera mata. Tapi kotak ini bila dibuka akan muncul wajah Sjahrir dengan ekspresi seperti tengah menghadapi sakratulmaut.

Gips cetakan paras Sjahrir yang betul-betul mirip kepala manusia itu tampak berat. Warna gips itu tadinya putih, tapi kini berubah kecokelatan. Namun, lantaran perubahan warna itulah, warna kepala makin menyerupai warna kulit wajah sesungguhnya. Bila kita amati seluruh wajah itu, sama sekali tidak ada retakan, menandakan gips itu demikian kuat.

Ketika Tempo menyentuh gips itu, terasa keras seperti terbuat dari semen. Betapapun terbuat dari materi bahan yang keras, tekstur wajah Sjahrir sangat detail tercetak. Kita sampai dapat melihat adanya kerutan di sekitar pelipis Sjahrir. Gurat-gurat di sekitar alis matanya. Dan bekas-bekas kumis serta jerawat di atas mulutnya. Demikian detailnya, seolah-olah lapisan jangat masih terus tumbuh di kepala itu.

”Sudah delapan tahun kotak itu tidak saya buka,” kata Upik. Ia tak tahu apakah gips itu dicetak pas tatkala Sjahrir berpulang pada 9 April 1966 atau ketika Sjahrir masih terbaring sakit di Zurich, Swiss. Semula bahkan Upik tak tahu-menahu ada patung wajah Sjahrir yang disimpan ibunya. Saat masih kanak-kanak, Upik tak paham mengapa ibunya selalu berurai air mata setiap kali menatap sesuatu yang diambil dari lemarinya. Rahasia itu baru terbuka ketika Upik beranjak remaja.

”Saya mungkin sudah SMA,” Upik, 48 tahun, mengingat-ingat. Waktu itu dia sedang membongkar lemari ibunya, Siti Wahjunah ”Poppy” Sjahrir. Upik menemukan cetakan wajah itu. ”Ini apa, Ma?” Upik kecil bertanya ke ibunya. ”Itu topeng Papa dari rumah sakit,” Poppy menjawab singkat. Sifat Poppy, kata Upik, memang agak tertutup.

Upik kecil pun tak bertanya lebih lanjut. Tapi dia tahu, cetakan itu kenangan terakhir dari ayahnya, Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama di negeri ini. Hingga ibunya berpulang pada 8 Maret 1999, Upik tak pernah lagi membahas soal cetakan gips tersebut. Upik juga tak pernah membicarakan soal topeng Sjahrir itu dengan kakaknya, Kriya Arsjah ”Buyung” Sjahrir.

”Saya tidak tahu, siapa yang membuat dan atas permintaan siapa topeng itu dibuat,” kata Upik. Menurut dia, selain ibunya dan kakaknya, hanya Dunia Pantiadi, pengasuhnya sejak kecil, yang mengetahui kisah di balik cetakan gips itu. Tapi Bu Dun, demikian Upik dan Buyung biasa memanggil, juga sudah meninggal.

Jelas, wajah itu oleh Poppy disimpan karena ia demikian menyayangi suaminya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129751.id.html


Setelah Sibi Tiada
Poppy Sjahrir membesarkan dua anaknya dalam kesederhanaan. Sempat larut dalam kesedihan.

BANDAR Udara Kemayoran, Jakarta Pusat, 17 April 1966. Jenazah bekas perdana menteri Sjahrir, yang baru datang dari Zurich, Swiss, disambut masyarakat dengan gempita. ”Pake diupacarain. Kami harus sering berdiri memberi hormat,” kata Siti Rabyah Parvati, kini 48 tahun, putri bungsu Sjahrir, mengenang. Keesokan harinya, Sjahrir dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bekas Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rosihan Anwar mencatat setidaknya 250 ribu orang mengikuti prosesi pemakaman itu.

Penghormatan itu bertolak belakang dengan suasana ketika Sjahrir berangkat ke Zurich—dalam status tahanan politik—setahun sebelumnya. Tak ada hiruk-pikuk, tak ada pesta perpisahan, kecuali lambaian tangan beberapa kerabat.

Siti Rabyah (Upik) dan kakaknya, Kriya Arsjah Sjahrir (Buyung), berusia 6 dan 9 tahun saat ayahnya wafat. Ketika Sjahrir sakit di Zurich, kedua bersaudara ini punya waktu untuk selalu bersama mendiang. ”Sebelas bulan di Zurich adalah kesempatan kami menghabiskan waktu bersama Papa,” kata Upik. Sebelumnya, Sjahrir memang tak banyak di rumah. Pada 1962-1965 ia adalah tahanan politik di Jakarta dan Madiun.

Sepeninggal Sjahrir, Siti Wahjunah atau yang biasa disapa Poppy Sjahrir berusaha tak menampakkan kesedihan di depan anak-anak. Namun, ”Kami tahu Mama sedih,” kata Upik. ”Mama sering membuka kotak di kamarnya sambil menangis. Belakangan, ketika saya remaja, saya tahu bahwa kotak itu berisi gips cetakan wajah Papa.”

Kata Upik, ”Bagi Mama, yang ada hanya Sjahrir, Sjahrir, dan Sjahrir. Saya lari ke Bu Dun jika sedang sedih dan ingin curhat.” Bu Dun adalah Dunia Pantiadi, saudara yang membantu mengasuh Upik dan Buyung.

Dua tahun lebih Poppy larut dalam duka. Sampai, suatu kali, Dun menegurnya. ”Sibi sudah tiada. Dia meninggalkan Upik dan Buyung, jangan lupa itu, Zus,” Upik mengenang percakapan ibunya dan Dun. Sibi adalah panggilan Poppy kepada Sjahrir.

Teguran Dunia membuat Poppy sadar dan lebih memperhatikan kedua anaknya. Nilai-nilai yang diajarkan Sjahrir, terutama tentang kejujuran dan kebesaran hati, disampaikan Poppy dalam perbincangan di ruang keluarga. ”Saya jadi tahu sosok Papa lebih dekat,” kata Upik. ”Peninggalan Papa jauh lebih berharga dibanding harta.”

Upik lalu mengenang masa kecilnya. Ketika kecil ia hanya punya satu boneka. ”Itu pun pemberian Pak Muthalib, teman Papa.” Jika ingin main masak-masakan, Upik harus bertandang ke rumah tetangga. Adapun Buyung lebih beruntung. ”Saya punya dua sepeda. Mainan juga berlimpah waktu kami di Swiss,” kata Buyung, yang kini bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat.

Setelah Sjahrir tiada, Poppy dan anak-anak rutin datang ke makamnya. ”Setiap Minggu pagi kami ke Kalibata,” kata Buyung.

Poppy amat aktif di berbagai organisasi kewanitaan. Kegiatan itu praktis tak banyak menghasilkan uang. Ekonomi keluarga akhirnya lebih banyak ditunjang bantuan kerabat dan keluarga. Sebagai perdana menteri, Sjahrir menerima uang pensiun yang tak seberapa. Pada 1992, uang pensiun Sjahrir hanya Rp 240 ribu per bulan, lalu naik menjadi Rp 600 ribu pada 1999.

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan terus membengkak. ”Tak cukup kalau hanya mengandalkan uang pensiun,” kata Upik. Itu sebabnya, pada 1980-an, empat kamar di rumah Sjahrir, di Jalan Jawa, kini Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat, dijadikan kos-kosan.

Meski keuangan tak begitu baik, Poppy tak pernah mengeluh. Dia mewanti-wanti Upik dan Buyung tekun bersekolah. Beruntung, keduanya mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar meski besarnya hanya belasan ribu rupiah per bulan. Upik dan Buyung mencetak nilai bagus. Upik tamat dari Universitas Indonesia dan Buyung dari Institut Teknologi Bandung.

Poppy meninggal pada 8 Maret 1999, pada usia 89 tahun. Bagi Buyung, ketimbang Sjahrir, sang bunda lebih membekas dalam ingatannya. ”Sejak kecil, yang berjuang untuk kami adalah Mama,” katanya. Baginya, Poppy adalah ibu yang tegas tapi tak segan memuji anak-anaknya. Kata Buyung, ”Mama sering bilang, ’I’m proud of you’.”

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129752.id.html


Pintu Tertutup untuk PSI
Ketika Soeharto berkuasa, tumbuh harapan kaum pluralis modern untuk membangkitkan PSI. Peristiwa Malari membuyarkan impian itu.

IBU Kota membara pada 15 Januari 1974. Sebanyak 11 orang tewas, 300 luka-luka, 775 ditahan. Ratusan gedung dan kendaraan dibakar—kerusuhan terburuk sejak Presiden Soekarno jatuh.

Pemerintah Orde Baru, melalui Opsus—Operasi Khusus, badan yang dipimpin Ali Moertopo—menuding eksponen Partai Sosialis Indonesia ada di balik aksi itu. Teori yang dimunculkan adalah ”konspirasi PSI”.

Beberapa tokoh PSI atau yang ”berbau PSI” pun diciduk. Sarbini Sumawinata, Soebadio Sastrosatomo, Hariman Siregar, Sjahrir, dan Rahman Tolleng termasuk yang ditangkap. Mereka masuk penjara, tanpa proses pengadilan.

”Ini pukulan berat, karena kami kemudian dianggap musuh negara,” ucap Rahman, sekarang 71 tahun, di Jakarta dua pekan lalu. Simpatisan PSI ini saat peristiwa Malari meletus duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dari Golkar.

Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut pemikiran politik ”pluralis modern”. Kelompok ini—seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)—meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.

Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.

Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto. Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.

Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-benar terkubur.

Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.

Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari Malari karena dinyatakan ”bersih” oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal tersebut. ”PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah hilang.”

Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir. ”Banyak juga anak muda yang tertarik.”

Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam.

Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan. Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru.

Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.

Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran mereka dianggap simpatisan PSI.

Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar bagi PSI untuk come back. ”Karena kesempatan kami terbuka,” ujar Rahman Tolleng.

Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto.

Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.

Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? ”Militer tidak perlu alasan. Bagi saya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,” ujar Sadli dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.

Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.

Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam disambut baik.

Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri, termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak independen. Adam Malik berkomentar, ”Independent group sudah mati sebelum lahir.”

Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap kritis grup itu kepada Soeharto.

Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng, Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI baru. ”Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan demokrasi,” kata Soeharto ketika itu.

Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah ”markas” independent group, beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan: membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.

Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini ”mati” setelah Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.

Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.

Rahman Tolleng—di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mewakili Fraksi Golkar pada 1969—berpendapat bahwa sistem pemilihan umum seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem distrik dianut Amerika Serikat.

Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih. Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.

Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974. Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha, dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.

Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan oposisi masa Orde Baru. ”Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan PSI, termasuk orang-orangnya,” kata Rahman Tolleng.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129753.id.html


Foto Tua di Garasi Mursia
Sempat tinggal di rumahnya, Mursia bertekad meneruskan semangat Sjahrir: membangun koperasi.

ORANG memanggilnya Eyang Zaafril. Kini 84 tahun, Mursia Zaafril Ilyas memang orang lama. Halaman rumahnya di Jalan Tenes, Bareng, Malang, Jawa Timur, kerap menjadi tempat parkir gerobak pedagang keliling.

Lebih dari 60 tahun lalu, Mursia tinggal di rumah Sjahrir. Ia masih ingat detail kenangannya bersama pendiri Partai Sosialis Indonesia itu. Ia bertemu pertama kali dengan Bung Kecil pada 1942 di Surabaya, ketika menghadiri diskusi pemuda. Wiyono, gurunya di Taman Siswa Yogyakarta, yang mengenalkan mereka.

”Saya terkesan dengan pidato-pidatonya yang membakar semangat,” katanya ketika ditemui di rumahnya, tiga pekan lalu. ”Ia mengatakan: apa arti hidup seseorang dibanding nasib jutaan manusia yang telantar menjadi korban kekejaman manusia lain?”

Terbakar pidato-pidato Sjahrir, Mursia meninggalkan bangku sekolah. Ia bergabung dengan pergerakan pemuda Surabaya. Pada November 1945, perang berkobar di Surabaya. Mursia dan teman-temannya pindah ke Malang. Sebulan tinggal di kota ini, Mursia berencana pulang ke Madura. Rencana ini batal karena Belanda memblokir jalanan. Sjahrir ketika itu berkunjung ke Malang. ”Dia mengajak saya ke Jakarta,” tuturnya.

Sjahrir yang belum menikah menampung Mursia di rumahnya. Di rumah itu telah tinggal sejumlah pemuda termasuk Des Alwi. ”Bung Sjahrir tak punya uang banyak tapi rela berkorban untuk orang banyak. Dia tidak segan mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju dan memasak.”

Mursia mengenang: ”Selama tinggal, saya diajak berdiskusi dengan tamu-tamu. Karena masih muda, saya banyak diam saja, mendengarkan. Kalau sedang berdua, Bung Sjahrir juga selalu memberikan nasihat.”

Suatu ketika Mursia pamit mau pulang ke Madura. Sjahrir tak mengizinkan. Alasannya, jalanan belum aman. Tapi tak lama kemudian Sjahrir memintanya menemui Presiden Soekarno yang ketika itu berada di Yogyakarta. ”Bung Sjahrir menitip pesan agar saya memberi tahu Presiden Soekarno soal sepak terjang orang komunis. Dia minta Presiden Soekarno tidak boleh terlalu dekat dan membela komunis.”

Mursia berangkat ke Yogyakarta. ”Saya menyampaikan surat ke Bung Karno. Ternyata itu surat pengantar agar saya diterima bekerja di Istana Kepresidenan. Saya kemudian diangkat menjadi sekretaris pribadi Bung Karno. Tugas saya menetapkan jadwal dan tamu yang bertemu. Enam bulan, saya berhenti dan pulang ke Madura. Saya sempat tinggal di Jalan Patuk, Yogyakarta.”

Setelah pada 1948 menikah dengan Zaafril Ilyas—dokter kandungan ternama di Malang yang meninggal pada 1990-an—Mursia tinggal di kota apel itu. Seperti Sjahrir, ia berniat membantu orang. ”Saya tidak tahu ilmu ekonomi. Satu-satunya pelajaran dari Bung Sjahrir, yang bilang koperasi bisa menjadi saluran perjuangan perekonomian. Saya turuti permintaan Bung Sjahrir dengan membentuk koperasi.”

Tahun 1950-an Mursia merintis koperasi, menghimpun pedagang Pasar Besar. ”Banyak yang menolak. Saya rayu para pedagang itu: mau tidak saya pinjami uang tapi nanti jadi anggota koperasi?”

Koperasi ini ternyata sangat lamban berkembang. Mursia kemudian menyimpulkan kegiatan ekonomi yang mampu bertahan dan berkembang adalah arisan. Kuncinya: anggota bersedia menalangi anggota lain yang belum membayar.

Ia lalu membentuk Koperasi Setia Budi Wanita, yang menerapkan sistem arisan. ”Kalau ada anggota gagal melunasi kewajibannya, semua anggota lain dalam kelompok harus menanggung secara merata. Saya membidik kalangan wanita, yang mengatur rumah tangga dan ikut mendukung ekonomi keluarga.”

Koperasi itu berkembang terus sampai anggotanya 2.000 orang. Ketika berumur sembilan tahun, Koperasi Setia bubar. Mursia ditangkap dengan tuduhan menggunakan koperasi itu buat menggulingkan Soekarno. Mursia merintis lagi pada 1972, setelah keluar dari penjara.

Kini Koperasi Setia Budi Wanita sukses merekrut 5.000 anggota. Koperasi ini mampu memutar uang Rp 1,8 miliar per bulan. Ia lalu mendirikan Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur, yang kini menaungi 43 koperasi dengan aset miliaran rupiah dan 30.000-an anggota. Pada 1990, dia menghidupkan Induk Koperasi Wanita tingkat nasional.

Semua itu dibangun dari garasi rumah Mursia. Di situ terpampang lukisan foto Sjahrir. Ia tersenyum: ”Lukisan itu membuat saya selalu bersemangat membangun koperasi.”

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129754.id.html